Sebagai
sebuah negara, Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang panjang,
dimulai dari sebuah negeri kepulauan yang terdiri dari
kerajaan-kerajaan, hingga terbentuk menjadi sebuah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh
Soekarno – Hatta.
Namun
mungkin belum terlalu banyak yang tahu bahwa dalam perjalanan
sejarahnya, Indonesia sebenarnya tak hanya telah dijajah Belanda selama
350 tahun dan oleh Jepang selama 3,5 tahun, namun juga oleh “sebuah
kekuatan besar” yang bekerja secara diam-diam, namun teramat sangat
efektif. “Kekuatan besar” inilah yang ikut bertanggung jawab atas
hilangnya jiwa nasionalis di kalangan pejabat dan pemimpin negara kita,
sehingga korupsi demikian marak, dan bahkan tak sedikit anak bangsa yang
rela menjadi kaki tangan asing, khususnya sekutu kekuatan besar
tersebut, yakni Amerika, sehingga meski kebijakan yang dibuatnya
didengung-dengungkan demi kesejahteraan rakyat, namun sesungguhnya
kebijakan itu lebih berpihak kepada negara asing kepada siapa dia
“mengabdi”.
“Kekuatan
besar” itu saat ini lebih dikenal dengan sebutan kaum kapitalis atau
pemilik modal, sebuah istilah yang merujuk kepada para pengusaha Yahudi.
Kaum ini memiliki sebuah organisasi rahasia yang keberadaannya
diproklamirkannya di Inggris pada 24 Juni 1717, yakni Freemasonry. Di
Belanda, nama organisasi ini adalah Vrijmetselarij.
Sejumlah
sumber rujukan menyebutkan, Freemason dari Belanda merupakan pihak yang
paling berperan dalam membentuk wajah Indonesia hingga seperti sekarang
ini; korup dan tak kunjung menjadi negara besar sebagaimana
dicita-citakan para pejuang yang merebut kemerdekaan dari Belanda dan
Jepang, meski tanah Indonesia subur makmur dan kaya akan kandungan yang
dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber rujukan itu
bahkan menyebut, Vrijmetselarij memiliki andil besar dalam sejumlah
peristiwa besar di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30 S/PKI.
Dalam
buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’, Herry Nurdi
memperkirakan, para Mason Belanda memasuki Indonesia bersamaan dengan
masuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad 17 untuk
mencari rempah-rempah. Perkiraan ini merujuk pada lambang milik
perusahaan Belanda itu yang berupa huruf V besar dengan huruf O dan C
yang menempel pada kedua kaki V, dan huruf A di atasnya. Jika kedua kaki
huruf A ditarik hingga memanjang ke bawah dan kedua kaki huruf V
ditarik hingga memanjang ke atas, maka akan terbentuk simbol bintang
David, simbol Freemasonry. Apalagi karena dalam bahasa Belanda tidak
dikenal huruf A, sehingga lambang VOC dicurigai sebagai penyamaran
lambang organisasi persaudaraan rahasia kaum Yahudi itu.
Dan
untuk diketahui, sejak awal eksistensinya, Freemason selalu berusaha
agar tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaannya. Tak heran jika
ketika mereka memasuki Indonesia, mereka menggunakan nama
Vrijmetselarij.
Berdasarkan
laporan tentang sejarah para Masonik di Indonesia yang diterbitkan Paul
van der Veur pada 1976 dan diberi judul ‘Freemasonry in Indonesia from
Radermacher to Soekanto 1762-1962’, diketahui kalau gerakan Freemasonry
di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dirintis oleh J.C.M. Radermacher.
Dia jugalah yang memprakarsai pembangunan lodge pertama di Batavia yang
diberi nama ‘La Choisie’ atau ‘Yang Terpilih’ pada 1762. Bahkan nama
Radermacher digunakan sebagai nama sebuah organisasi yang disebut
Perhimpunan Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan atau Batavian
Society of Arts and Science.
Nama
Soekanto yang disebut dalam laporan Paul van der Veur adalah Raden Said
Soekanto Tjokrodiatmojo yang kala itu menjabat sebagai Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kapolri, dan yang namanya
diabadikan sebagai nama rumah sakit Polri di Kramatjati, Jakarta Timur,
yakni RS Soekanto. Dalam bukunya, Herry Nurdi menyebut, Soekanto pernah
menjadi Suhu Agung para Vrijmetselarij di Indonesia, dan sejak 1952
namanya tercatat di Lodge Purwo Daksina.
Pada
awal-awal Freemasonry merambah Indonesia, para pengikutnya adalah
orang-orang Belanda yang berdarah Yahudi dan orang Eropa non Yahudi
dengan beragam profesi, terutama pedagang. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, banyak penduduk pribumi, khususnya penduduk Pulau Jawa,
yang menjadi anggota organisasi ini. Bahkan Van Niel, sejarawan Amerika,
menyebut, bahwa pendidikan yang disumbangkan kaum Masonik turut
berperan dalam melahirkan kaum elit modern di Indonesia, karena sejak
mulai berkiprah, para Masonik membangun sekolah-sekolah dan memberikan
pendidikan kepada kaum miskin, serta memberikan kesempatan kepada kaum
muda Jawa yang berbakat untuk melanjutkan pendidikan di Eropa. Seluruh
biaya ditanggung oleh para Vrijmetselarij. Maka tak heran jika gerakan
para Mason di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, begitu cepat
berkembang, bahkan berhasil menarik sejumlah orang penting ke dalam
organisasinya.
Selain
Soekanto, menurut Herry Nurdi, Pangeran Ario Notodirodjo yang merupakan
ketua Boedi Oetomo 1911-1914, juga pernah menduduki jabatan tinggi di
Vrijmetselarij, dan namanya tercatat di Lodge Mataram sejak 1887. Raden
Adipati Tirto Koesomo, bupati Karanganyar yang juga ketua Boedi Oetomo,
juga merupakan anggota di Lodge Mataram. Pengurus Boedi Oetomo yang lain
yang juga anggota Freemasonry adalah Mas Boediardjo yang pada 1916-1922
menjabat sebagai inspektur pembantu divisi Inlands Onderwijs atau
Pendidikan Pribumi.
Adik Pangeran Ario Notodirodjo, Pangeran Koesoemo Yoedho, putra Paku
Alam V, berkali-kali menjadi pengurus di Lodge Mataram sejak dilantik
menjadi anggota Vrijmetselarij pada 1909. Bahkan pada 1930, dia menjadi
pengurus pusat dan merupakan orang Jawa pertama yang mempelajari
indologi di Leiden, Belanda, dan lulus ujian besar, ujian yang biasanya
hanya diperuntukkan bagi orang Belanda saja.
Tokoh
lain yang menjadi anggota Vrijmetselarij adalah Dr. Radjiman
Wediodipoera, tokoh penting dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan yang menjadi ketua Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersama mantan Presiden Soekarno. Juga
Raden Saleh (1810-1880), pelukis terkenal.
Ketika
Belanda menjajah Indonesia dan mengambil alih kekuasaan VOC, gerakan
Freemasonry sempat menghadapi kendala berarti, karena kerajaan Belanda
yang dekat dengan gereja dan para pemimpin Katolik, bersikap memusuhi
para Mason, dan menganggapnya sebagai “makhluk-makhluk berbahaya bagi
negara dan agama”. Namun, kuatnya jaringan para Mason, membuat gerakan
Freemasonry tetap tak terbedung. Kekuatan jaringan ini antara lain
karena di antara para Mason ada yang berprofesi sebagai pengusaha,
petinggi militer, pengacara, notaris, pegawai pengadilan, bahkan polisi.
Masonik yang berprofesi sebagai pengacara di antaranya Nicolas Maas
yang merupakan anggota Lodge La Fidele Sincerete, lodge kedua yang
dibangun para Mason di Batavia pada 1767; Masonik yang berprofesi
sebagai tentara di antaranya Mayor Zeni C.F. Reimen yang juga anggota
Lodge La Fidele Sincerete; dan yang berprofesi sebagai pegawai
pengadilan di antaranya P.A. de Win, juga anggota Lodge La Fidele
Sincerete.
Ketika
Jepang menjajah Indonesia, para Mason sempat kocar-kacir sehingga untuk
sementara gerakan organisasi Yahudi ini terhambat. Namun setelah Jepang
menyerah karena dua kotanya,
Hiroshima
dan Nagasaki, dibom atom Amerika Serikat pada 14 Agustus 1945, kekuatan
Freemasonry kembali menguat, bahkan terus berkembang, sehingga makin
banyak lodge-lodge yang dibangun, yang pembangunannya tak hanya di
Batavia, tapi juga di kota-kota lain, hampir di seluruh Indonesia,
seperti di Semarang, Surabaya, Tegal, Pekalongan, dan beberapa kota di
Pulau Sumatera.
Di
Indonesia, lodge yang merupakan markas para Masonik untuk melakukan
berbagai kegiatan untuk kepentingan organisasinya, disebut loji. Ada
kisah menarik di balik pembangunan loji di Pekalongan, karena ketika
pembangunan gedung ini nyaris rampung, masyarakat setempat menolak
keberadaannya karena menilai acara-acara ritual yang dilakukan para
Mason di loji itu, sesat. Dan saat ini, Loji tersebut dikenal dengan nama Gedong Setan. Mengapa demikian?
Seperti
kita tahu, kaum Yahudi menganut Kabbalah, sebuah kepercayaan yang
bersumber dari tradisi lisan Mesir kuno yang mengandung filsafat
esoteris dan ritual penyembahan serta pemujaan berhala dan Lucifer, raja Iblis.
Maka ketika berada dalam gedung itu, yang dilakukan para Mason bukan
hanya membahas hal-hal yang terkait dengan organisasi mereka saja, tapi
juga melakukan ritual-ritual untuk menyembah berhala dan setan. Itu
sebabnya masyarakat Pekalongan menilai ritual yang dilakukan para Mason
di lojinya sesat, dan loji itu kemudian dijuluki Gedong Setan.
Anda mungkin bertanya-tanya mengapa begitu banyak tokoh Boedi Oetomo yang menjadi Mason, atau bahkan mungkin tak percaya? Untuk
mencapai tujuannya, Yahudi melakukan berbagai cara, termasuk menyusupi
bidang pendidikan, kebudayaan, dan kesenian demi membentuk
intelektual-intelektual yang dapat disusupi ke berbagai bidang
pemerintahan dari suatu negara yang ingin dikuasainya, sehingga dengan
demikian organisasi ini memiliki kekuatan pendukung dan pelindung yang
kuat, yang memungkinkan gerakan mereka terus tumbuh dan berkembang tanpa
dapat dibendung.
Sejarah
mencatat, Boedi Oetomo dikenal sebagai organisasi kepemudaan pribumi di
era kolonial Belanda yang mencetuskan nasionalisme, dan menjadi salah
satu penopang pergerakan pemuda di Tanah Air untuk melawan Belanda.
Namun Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’
menyebut, lembaga pendidikan ini justru sangat menentang nasionalisme,
karena sejak Vrijmetselarij ‘menunggangi’ organisasi ini, para Mason
telah mencekoki para tokohnya dengan berbagai doktrin, termasuk doktrin
Indonesia Baru yang dikonsep sesuai dengan tujuan mereka untuk menguasai
dunia, dan sikap mereka yang menolak Islam serta Kristen, karena mereka
menganut Kabbalah. Maka tak heran ketika KH. Ahmad Dahlan, salah
seorang tokoh senior Boedi Oetomo, mengusulkan agar di organisasi mereka
diadakan pengajian, mayoritas tokoh Boedi Oetomo menolak. Bahkan para
penolak usulan kyai yang pada 1912 mendirikan Muhammadiyah itu tak
segan-segan menghina dan menghujat Islam, serta menghasut umat Islam
agar tak perlu berhaji karena hanya membuang-buang uang.
Salah
satu tokoh Boedi Oetomo yang bersikap keras terhadap Islam di antaranya
Dr. Soetomo yang kemudian membentuk Surabaya Studie Club dan berdebat
sengit dengan Sarekat Islam tentang banyak hal terkait dengan
masalah-masalah ke-Islam-an, termasuk dalam hal berbangsa dan bernegara.
Dalam kongres yang diselenggarakan pada 1952, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan mereka.
Apa
yang didoktrin para Mason kepada para tokoh Boedi Oetomo antara lain
dapat dilacak dari tulisan Annie Besant, pemimpin besar Theosofische
Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di Hindia Belanda (baca; Indonesia)
yang juga seorang Mason keturunan Belanda. Dalam artikel berjudul Soal
Doenia yang diterbitkan majalah Liberty, Surabaya, Annie menulis begini ;
“Ada orang mengira bahwa nilai dari tanah Arab, Nabi Muhammad ada
berlainan dari Nabi dari agama-agama lainnya. Semua itu, meskipun
berlainan rupanya, dan orang menganggap apa yang menjadi kenyataan
sendiri ada lebih tinggi. Padahal semua agama itu menjadi sekawan dalam Rumah Bapak ini”.
Annie juga menyatakan, bahwa fanatisme agama adalah penyebab
perseteruan dan konflik sosial di masyarakat. “Meskipun agama bukan
satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan
dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan
peran”.
Tulisan
ini jelas sekali menunjukkan doktrin antiagama dan sekuler, dua dari
begitu banyak doktrin yang diusung Freemasonry untuk mencapai tujuannya
menguasai dunia (soal Freemasonry, lebih detil bisa diklik DARI SINI).
Doktrin inilah yang antara lain diduga kuat dicekoki kepada para tokoh
Boedi Oetomo sehingga mereka ‘memusuhi’ Islam. Doktrin ini dicekoki
melalui berbagai cara, termasuk melalui gerakan Theosofi, sebuah gerakan
yang dilembagakan dengan nama Perkumpulan Theosofi dan didirikan
Freemasonry di New York, Amerika Serikat, pada 17 November 1875.
Perkumpulan berbentuk badan internasional ini memiliki tiga tujuan
utama, yakni mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa
memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit; memajukan
pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu
pengetahuan; dan menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat
diterangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam.
Sekilas,
ketiga tujuan itu memang sangat baik dan mulia, namun jika dicermati
lebih mendalam, tujuan-tujuan itu cenderung merusak agama dan tatanan
hidup manusia, karena dari perkumpulan inilah kemudian muncul
istilah-istilah pluralisme, kebebasan berfikir, liberalisme, bahwa semua
agama itu sama, dan lain-lain, serta mendorong orang untuk mengkaji
hal-hal ghaib seperti mengkaji tenaga dalam dari alam maupun dari dalam
diri manusia sendiri. Bahkan saat memberikan ceramah dalam pertemuan The
Indonesian-Pakistan Culture Association yang diselenggarakan di Amerika
pada 9 Desember 1953, tokoh nasional yang dikenal sebagai diplomat
ulung, H. Agus Salim, mengaku, kalau keterlibatannya dalam Perkumpulan
Theosofi membuatnya ‘terjerumus’ ke dalam dunia politik selama lebih
dari 40 tahun.
“Namun
di sini hendak saya ikrarkan, bahwa mulai saat ini pesan yang hendak
saya bawa ialah pesan agama Islam. Saya tidak akan menghiraukan
soal-soal politik, karena bila ada terdapat suatu upaya untuk
menyembuhkan segala penyakit di dunia ini, saya yakin upaya itu tidak
lain daripada mencari jalan menuju ke Allah, dan memperjelas jalan itu,”
tegasnya.
Tak
lama setelah mengeluarkan pernyataan ini, Agus Salim keluar dari
Perkumpulan Theosofische Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di
Indonesia.
Tokoh nasional yang lain yang pernah tercatat sebagai tokoh Perkumpulan
Theosofi, menurut Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason dan Zionis di
Indonesia’, adalah ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dan Achmad
Subardjo, salah seorang menteri dalam kabinet pertama yang dibentuk
Presiden Soekarno. Dr. Radjiman adalah propagandis terkemuka yang
menyebarkan ajaran-ajaran Theosofi melalui cerita-cerita wayang.
Bukti
bahwa Boedi Oetomo dibina oleh Vrijmetselarij di antaranya adalah,
Kongres I organisasi ini pada 1926 terlaksana berkat inisiatif
Theosofische Vereeninging dan diselenggarakan di Loji Broederkarten,
sehingga sempat menimbulkan gelombang protes di kalangan pemuda dalam
anggota organisasi itu, dan Kongres II diselenggarakan di Loji Mataram
dan dihadiri Bupati Karanganyar Raden Adipati Tirto Koesomo yang
merupakan tokoh Vritmetselarij dan tercatat sebagai anggota Loji Mataram
sejak 1895.
Karenanya,
menurut Herry Nurdi, tidak berlebihan jika disebutkan bahwa
gerakan-gerakan awal di Indonesia untuk meraih kemerdekaan, bahkan
gerakan yang dianggap pemerintah sebagai pelopor kebangkitan Indonesia
seperti Boedi Oetomo, sangat terwarnai, bahkan dipengaruhi oleh gerakan
Zionis Internasional melalui Vrijmetselarij sebagai kepanjangan
tangannya di Indonesia. Bahkan cermati baik-baik tulisan pada lambang
negara Amerika Serikat, burung Rajawali, yang berhiaskan tulisn ‘E Pluribus Unum’
dengan tulisan pada lambang negara Indonesia, Garuda, yang berhiaskan
tulisan ‘Bhineka Tunggal Ika’.E Pluribus Unum berarti ‘satu dari yang
banyak’, sementara Bhineka Tunggal Ika berarti ‘meski berbeda-beda namun
tetap satu’. Kedua kalimat itu memiliki makna yang sama.
Selain
persamaan makna kata itu, coba cermati baik-baik lambang negara
Indonesia dan Amerika, akan terlihat mirip, dan bahkan sama-sama
memiliki perisai di dadanya. Menurut Herry Nurdi, lambang negara
Indonesia sebenarnya merupakan bentuk lain dari Dewa Horus, salah satu
simbol suci bagi masyarakat Yahudi.
Tentang
hal ini, penulis buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’ ini
merujuk pada penjelasan tentang lambang negara yang tercantum dalam
lembaran negara Peraturan Pemerintah (PP) No. 66/1951 tanggal 17 Oktober
1951 tentang Lambang Negara. Pasal 3 PP ini menjelaskan, “Burung Garuda
yang digantungi perisai itu ialah lambang tenaga pembangun (creative
vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung Garuda dari
mythology menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung Elang
Rajawali. Burung itu dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan
Panataran. Ada kalanya dengan memakai lukisan berupa manusia dengan
berparuh burung dan bersayap (Dieng); di Candi Prambanan dan di Candi di
Jawa Timur rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut
raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan garuda di Candi Mendut,
Prambanan, dan Candi-candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur”.
Kalimat-kalimat
yang di-bold dan digarisbawahi memiliki penggambaran yang sama persis
dengan sekripsi wujud Dewa Horus, yakni berupa manusia berparuh burung
dan bersayap, berambut, dan bercakar.
Awal-awal
kemerdekaan RI merupakan awal-awal yang menegangkan bagi para pelaku
sejarah, terutama yang beragama Islam, karena pada saat itulah mereka
harus ‘berhadap-hadapan’ dengan wakil para Freemasonry yang ingin
‘menggenggam’ Indonesia sebagaimana organisasinya telah menguasai
Amerika dan menjadikannya sebagai kuda Troya demi mengusai dunia.
Mengapa organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu sangat menginginkan
Indonesia? Jawabannya mudah.
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan hasil bumi seperti rempah-rempah,
minyak, emas, perak, batu bara, dan sebagainya, dan merupakan negara
yang amat luas dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Untuk dapat
menguasai dunia, Yahudi membutuhkan sumber dana yang tak terbatas, maka
strategi Adam Weishaupt, salah seorang tokoh Freemason, diberlakukan di
sini, yakni penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi dan
kekayaan keturunan.
Dengan
menerapkan strategi ini, maka dapat dimengerti mengapa tak lama setelah
Soeharto diangkat menjadi presiden untuk menggantikan Soekarno pada 12
Maret 1967, dengan dalih kerjasama dalam bentuk kontrak karya, pada
tahun itu juga Soeharto dengan ikhlas ‘menyerahkan’ lahan tambang di
kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, untuk dikelola Amerika.
Hingga kini Indonesia hanya menikmati secuil dari cadangan kekayaan alam
di sana, karena 81,28% saham di PT. Freeport Indonesia, perusahaan
pengelelola lahan tambang itu, dikuasai Freeport-McMoRan Copper &
Gold Inc., yang berkantor pusat di New Orleans. Gilanya lagi, 9,4% saham
di PT. Freeport Indonesia dimiliki PT. Indocopper Investama yang 100%
sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc., sementara
saham pemerintah Indonesia sebagai pemilik lahan hanya 9,32%!
Padahal,
cadangan tembaga di Tembagapura itu disebut-sebut sebagai ketiga
terbesar di dunia, sedang cadangan emasnya merupakan yang terbesar di
dunia. Per tahun, dari lahan ini PT. Freeport Indonesia mengeduk
pemasukan sedikitnya US$ 2,3 miliar.
Selain
beroperasi di Indonesia, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. juga
menggarap lahan tambang di Colorado, New Mexico, dan Arizona, ketiganya
di Amerika Utara. Juga beroperasi di Chili dan Peru (Amerika Selatan), serta Kongo (Afrika).
Dengan
strategi penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi, sejak awal
kebangkitan Indonesia pasca kemerdekaan, terutama selama era Orde Baru,
Freemasonry melalui para Mason-nya di Indonesia, mempropagandakan
ide-ide yang menyatakan bahwa produk luar negeri lebih bermutu dibanding
produk dalam negeri, dan orang akan merasa lebih bergengsi bila dapat
mengonsumsi atau mengoleksi barang-barang buatan luar negeri, sehingga
apa pun yang diproduksi di luar negeri, terutama Amerika Serikat, laris
dibeli oleh orang Indonesia. Maka tak heran jika pemerintah harus
berjuang habis-habisan agar bangsa Indonesia lebih mencintai produknya
sendiri. Hingga kini, karena ide-ide itu telah tertanam kuat di benak
sebagian bangsa Indonesia, terutama di kalangan atas, upaya pemerintah
tidak sepenuhnya berhasil. Maka jangan heran jika produk KFC, McDonald
dan sebagainya, sangat laris, sementara produk sejenis (ayam goreng atau
fried chicken) yang dijual di restoran Indonesia dan warteg, hanya
menjadi konsumsi masyarakat kalangan bawah, serta sebagian kalangan
menengah. Jadi, tanpa kita sadari, sejak awal Soekarno terguling pada
1967, Yahudi melalui Freemasonry tak hanya menjadikan Indonesia sebagai
‘lumbung uang’ yang dapat dikeruk setiap hari, tapi juga menjadikan
negara ini sebagai pangsa pasar produk-produk yang juga mereka hasilkan.
Di
dunia hiburan, mereka menjadikan Amerika sebagai yang terdepan,
sehingga dibanding film-film dan musik yang dijual negara lain, penduduk
Indonesia lebih menyukai film-film dan musik buatan Amerika, bahkan
menjadikan negara itu sebagai barometer. Jadi, sekali lagi, tanpa
disadari kita sebenarnya telah dikepung Yahudi dari berbagai arah agar
mereka mendapatkan income sebesar-besarnya dari Indonesia demi tujuan
menguasai dunia.
Puncak
ketegangan para pejuang non Masonik dengan para Masonik pada awal-awal
kemerdekaan Indonesia, menurut Herry Nurdi dalam buku “Jejak Freemason
& Zionis di Indonesia” adalah hilangnya tujuh kata dalam Piagam
Jakarta atau The Jakarta Charter yang menjadi pembukaan UUD 1945.
Ketujuh kata dimaksud adalah “ … dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Piagam
Jakarta dirumuskan oleh tim sembilan yang terdiri dari Soekarno,
Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Prof. Abdul Kahar
Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wachid Hasyim, dan
Muhammad Yamin, dan ditetapkan pada 22 Juni 1945. Ketujuh kata itu
hilang pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah teks Proklamasi
dibacakan. Salah seorang yang berperan atas hilangnya kata itu adalah
Muhammad Hatta.
Dalam
buku berjudul “Sekitar Proklamasi 17 Ags 45” pada bab 5, Bung Hatta
menjelaskan; “pada sore hari saya menerima telepon dari Nisyijima,
pembantu Admiral Mayeda, yang menanyakan dapatkah saya menerima seorang
opsir kaigun (Angkatan Laut Jepang), karena ia mau mengemukakan suatu
hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri yang menjadi
juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa
namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan
sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam
daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan
sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui, bagian kalimat itu tidak mengikat
mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya
ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD
berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika
‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar
Republik Indonesia”.
Atas
hilangnya tujuh kata itu, Muhammad Roem mengatakan begini; “Hilangnya
tujuh perkataan itu dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan
tak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata
itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan
diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam merelakannya. Karena itu
Menteri Agama Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara menamakan Pancasila
adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada RI”.
Namun
dalam pengantar buku “Piagam Jakarta 22 Jumi 1945” yang ditulis H.
Endang Saifuddin Anshari, Roem mempertanyakan begini ; “Apakah opsir
Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Darimana Kigun mengambil wewenang
untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah
ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa
mereka lebih baik di luar Republik Indonesia kalau ketujuh kata itu ada
dalam preambule UUD 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang
merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara
lain duduk Mr. AA Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan
Kristen? Bukankah dalam pleno BPUPKI yang menerima bulat Piagam Jakarta
tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen
lainnya, antara lain Mr. Latuharhari, seorang pemimpin terkemuka?”
Jadi,
jelas ada yang bermain di balik hilangnya ketujuh kata tersebut, dan
diduga kuat para Mason lah pemain tersebut, karena Yahudi tak menyukai
agama, termasuk Islam, dan Yahudi tak ingin Indonesia yang berpenduduk
mayoritas Muslim, menjadi negara yang berlandaskan Islam. Mereka
ingin Indonesia menjadi negara sekuler, negara yang tidak membaurkan
agama dengan pemerintahan. Apalagi karena seperti telah diulas
sebelumnya, Haji Agus Salim dan Achmad Soebardjo merupakan anggota
Perkumpulan Theosofi, sehingga dapat dianggap termasuk kaum Masonik.
Dalam
buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia”, Herry Nurdi bahkan
menengarai kalau Muhammad Yamin pun seorang Masonik karena dia anggota
senior Jong Sumatrenan Bond atau Ikatan Pemuda Sumatera, organisasi yang
didirikan di kawasan Weltervreden yang sekarang bernama Gambir.
Organisasi ini berdiri karena difasilitasi Perhimpunan Theosofi atau
Theosofische Vereniging. Bukti bahwa organisasi ini terkait dengan
Freemasonry dapat diendus dari monumen yang dibangun organisasi ini di
lapangan Segitiga Michiels, persis di depan Oranje Hotel yang kini
bernama Hotel Muara, pada 6 Juli 1919. Monumen yang rampung pada 1920
itu berbentuk obelisk dengan paramida pada puncaknya, serta bola dunia
bertengger di atas puncak itu. Obelisk, piramida, dan bola dunia adalah
simbol-simbol agung Freemasonry. Herry menulis, dari organisasi inilah
Muhammad Yamin kemudian terjun ke percaturan politik Tanah Air, dan
menjadi salah satu dari tiga tokoh yang membuat lambang negara
Indonesia, burung garuda. Dua tokoh lainnya adalah Sultan Hamid II dan
Ki Hajar Dewantara.
Sultan
Hamid II dan Ki Hajar Dewantara, menurut Herry Nurdi, memiliki kaitan
erat dengan Vrijmetselarij atau Freemasonry, karena Ki Hajar Dewantara
merupakan salah seorang anggota senior sekaligus pendiri Boedi Oetomo
yang ditunggangi organisasi persaudaraan rahasia Yahudi tersebut. Sedang
Sultan Hamid II yang lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie pada
12 Juli 1913 adalah keturunan Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang
terdaftar dalam persaudaraan Vrijmetselarij di Surabaya pada 1944.
Jenjang
pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan
termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer
Belanda di Breda. Pada masa kemerdekaan, Sultan Hamid II diangkat
Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Ketika Soekarno
membentuk Panitia Lencana Negara pada 10 Januari 1950, dia ditunjuk
sebagai kordinatornya. Lambang negara hasil buatan panitia ini, lambang
garuda, diperkenalkan Soekarno kepada seluruh masyarakat Indonesia pada
15 Februari 1950.
Patut
untuk mencurigai, bahwa Indonesia sebenarnya mengalami nasib yang tak
jauh berbeda dengan Amerika Serikat (AS), yakni sudah dicengkeram dengan
erat oleh Yahudi melalui Freemasonry dan gerakan Zionis Yahudi
Internasionalnya. Hanya saja, jika Amerika Serikat dijadikan sebagai
basis pergerakannya untuk menguasai dunia, sehingga negara itu dijadikan
yang terhebat, bahkan sangat berpengaruh, Indonesia sebaliknya.
Karena
Indonesia hanya satu dari begitu banyak negara di dunia yang mungkin
saja hanya dijadikan sebagai lumbung untuk mendapatkan income
sebanyak-banyaknya, maka seperti inilah yang kita alami sekarang; tidak
maju-maju, bahkan terpuruk akibat berbagai persoalan yang datang silih
berganti, seperti tak ada habisnya, namun tak mampu diselesaikan hingga
tuntas oleh pemerintah.
Kasus
Freeport merupakan salah satu kasus yang memilukan, karena meski
cadangan tembaga yang terkandung di bumi Tembagapura merupakan ketiga
terbesar di dunia, dan cadangan emasnya merupakan yang terbesar di
dunia, kita nyaris tidak menikmatinya sama sekali, mengingat saham
pemerintah hanya 9,32%!
Anda
yang belum tahu mungkin terkejut, karena the founding father kita,
Soekarno, ternyata juga seorang keturunan Yahudi. Mengutip dari Dr.
Abdullah Tal, seorang peneliti muslim yang menulis artikel berjudul “Al
Af’al Yahudiyah Fi Ma’aqalil Islami’ yang diterbitkan Al Maktab
Al-Islamy, sebuah media terbitan Beirut, Herry Nurdi dalam buku “Jejak
Freemason dan Zionis di Indonesia” menyebut kalau Soekarno adalah
keturunan Yahudi dari suku Dunamah, salah satu suku Yahudi yang bermukim
di Turki. Karena itu, Abdullah Tal tak heran ketika Soekarno masih
menjadi presiden, dia menerima Komunis sebagai orientasi pembangunan
negara dengan doktrin Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), dan tak
heran pula jika Soekarno memenjarakan sekian banyak kawan
seperjuangannya yang berasal dari kalangan Islam, seperti Muhammad
Natsir, Dr. Sjahrir, Burhanuddin Harahap, Mohammad Roem, dan lain
sebagainya, serta membubarkan Masyumi.
Sayangnya,
Herry tidak mendapatkan sumber pasti tentang silsilah Soekarno, namun
berhasil mendapatkan data kalau ayahanda Soekarno merupakan seorang
anggota Perkumpulan Theosofi di Surabaya. Karena status ayahandanya
inilah Soekarno dapat dengan bebas memasuki perpustakaan Perhimpunan
Theosofi di Surabaya, dan membaca koleksi buku-buku di situ. Tentang hal
ini, Soekarno pernah berkata ; “Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang
besar di kota ini (Surabaya) yang diselenggarakan oleh perkumpulan
Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti
harta ini, dimana tidak ada batasnya buat seorang yang miskin. Aku
menyelam lama sekali di dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku
bertemu dengan orang-orang besar. Buah fikiran mereka menjadi buah
fikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku …”
Dasar
negara Indonesia, Pancasila, termasuk salah satu hasil pemikiran
Soekarno yang disampaikan dalam sidang BPUPKI. Ketika pertama kali
disampaikan, kelima dasar tersebut adalah kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Ketika menjabarkan tentang
nasionalisme dan internasionalisme, Soekarno mengatakan begini ; “Saya
mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S
di Surabaya, saya dipengaruhi seorang sosialis bernama A. Baars, yang
memberi pelajaran kepada saya. Katanya, jangan berfaham kebangsaan,
tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia. Jangan mempunyai rasa
kebangsaan sedikit pun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 18,
alhamdulillah, ada orang lain yang memperingati saya, ialah Dr. Sun Yat
Sen! Di dalam tulisannya, “San Min Chu I” atau “The Three People’s
Principles”, saya mendapatkan pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme
yang diajarkan A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa
kebangsaan oleh pengaruh “The Three People’s Principles”. Maka oleh
karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen
sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia
yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterima kasih
kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk liang kubur”.
A Baars, menurut
Herry Nurdi, berdasarkan penjelasan Soekarno sendiri, adalah seorang
penganjur Marxis dan termasuk orang yang kemudian menumbuhkan benih
komunisme di Indonesia. Bahkan dia menjadi anggota Partai Komunis
Indonesia yang didirikan Semaun dan Darsono. Sedang Dr. Sun Yat Sen
adalah tokoh Revolusi Tiongkok dan pendiri Partai Kuomintang. Besar
kemungkinan Sun Yat Sen juga seorang Freemasonry Cina yang pada 1912
mendirikan Tiongkok Merdeka, karena seperti yang mungkin juga telah Anda
ketahui, bahwa teori Komunisme, Marxisme, dan Sosialisme, dicetuskan
oleh Karl Marx, seorang pemikir Yahudi pada abad 18. Dengan Komunisme
lah, serta dukungan Freemasonry, Lenin berhasil menggulingkan kaisar
Rusia, Tsar Nicholas II, melalui revolusi pada Oktober 1917. Yahudi
menciptakan Komunis untuk menjauhkan manusia dari agama.
Seorang
ilmuwan lulusan Madina University, Abdullah Pattani, pernah secara
khusus menelaah lima dasar yang dicetuskan Soekarno, dan menuliskannya
menjadi sebuah artikel berjudul ‘Freemasonry di Asia Tenggara’ yang
dipublikasikan oleh Madinah Al-Munawarah. Dalam artikel tersebut
dinyatakan, bahwa ada kemiripan antara lima dasar tersebut dengan
dasar-dasar yang digunakan Zionis sebagai ladasan gerakannya, dan konsep
Sun Yat Sen, karena dasar-dasar gerakan Yahudi adalah
internasionalisme, nasionalisme, sosialisme, monotheisme cultural, dan
demokrasi. Sedang konsep Sun Yat Sen adalah mintsu (nasionalisme), min
chuan (demokrasi), dan min sheng (sosialisme). Soekarno sendiri pernah
memeras kelima dasar yang dicetuskannya hingga menjadi tiga dasar yang
dikenal dengan istilah trisila, yakni sosio nasionalisme atau kebangsaan
dan prikemanusiaan, sosio demokrasi yang mencakup demokrasi dan
kesejahteraan nasional, dan ketuhanan. Bahkan trisila tersebut pernah
diperas lagi hingga hanya menjadi satu sila, yakni gotong royong.
“Jikalau
saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka
dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan
gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!
Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” ujar Soekarno.
Namun
apa pun dan bagaimana pun sepak terjang Freemasonry di Indonesia, pada
akhirnya membuat Soekarno gerah. Pada 27 Februari 1961. presiden pertama
RI itu mengeluarkan peraturan yang dicatat dalam Lembaran Negara nomor
18 Tahun 1961 tentang pelarangan aktifitas tiga buah organisasi yang
terkait dengan organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu, yakni
Vrijmentselaren-Loge (Loge Agung Indonesia) atau Freemasonry Indonesia,
Moral Rearmemant Movement, dan Ancient Mystical Organization of Sucen
Cruiser (Amorc). Soekarno maupun Sekretariat Negara tidak menjelaskan
secara detil apa dasar pelarangan tersebut, selain penjelasan bahwa
ketiga organisasi itu dilarang karena merupakan organisasi yang memiliki
dasar dan sumber dari luar Indonesia yang tidak sesuai dengan
kepribadian nasional. Peraturan ini dikuatkan oleh Keppres Nomor 264
Tahun 1962 tentang Pembubaran dan Pelarangan Vrijmetselarij atau
Freemasonry.
Lima
tahun setelah Keppres ini keluar, atau pada 1967, Soekarno terguling
dari jabatan sebagai presiden, dan digantikan oleh Soeharto. Pada 2000,
atau 33 tahun setelah Soekarno turun tahta, Presiden Abdurrahman “Gus
Dur” Wahid mencabut Keppres nomor 264 Tahun 1962 dan menggantinya
dengan Keppres nomor 69 Tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000. Sejak itu ketiga
organisasi yang dilarang pada zaman Soekarno, kembali aktif di
Indonesia. Begitupula dengan organisasi-organisasi Yahudi yang lain,
seperti Liga Demokrasi, Rotary, Divine Life Society, dan Organisasi
Baha’i, karena menjadi resmi dan sah untuk kembali eksis di Indonesia.
Tak heran jika pernah berhembus isu kalau Gus Dur termasuk salah satu
kaki tangan Zionis di Indonesia. Apalagi karena dia juga diketahui dekat
dengan Israel.
Dalam
Film G-30 S/PKI yang dibuat pemerintah Orde Baru, juga dalam buku
sejarah yang diterbitkan oleh rezim Soeharto tersebut, digambarkan kalau
peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan berujung pada terguling
Soekarno dari kursi kepresidenan itu, dilakukan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI). Namun belakangan banyak kalangan yang meragukan versi
tersebut karena apa yang dipaparkan Orde Baru dalam film dan buku
sejarah, terlalu banyak yang janggal dan aneh, seolah ada missing link
dalam paparan tersebut.
Dalam
buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M. Sembodo meyakini,
jika pemahaman tragedi yang terjadi pada malam 30 September hingga 1
Oktober 1965 itu hanya dikaitkan dengan Soeharto, PKI, Angkatan Darat,
dan CIA, persoalannya memang menjadi buram dan bak cerita misteri. Namun
jika juga dikaitkan dengan seorang pastor dari Amsterdam yang akrab
disapa Pater Beek, maka masalahnya menjadi terang benderang.
Peristiwa
G-30S/PKI, menurut Sembodo dalam buku tersebut, bukan sekedar tragedi
politik semata, namun ada tujuan lain di baliknya. Dan anak bangsa yang
terlibat di dalam tragedi itu hanyalah pion-pion yang dimanfaatkan dan
dikorbankan demi tercapainya tujuan tersebut, yakni melanggengkan
penjajahan atas Indonesia agar kekayaan sumber daya alamnya dapat
dikuras, dan demi penyebaran agama Katolik. Lantas siapakah Pater Beek?
Beek
lahir di Amsterdam, Belanda, pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap
Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan
anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan
Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel
Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534. Seperti halnya kebayakan
pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan
mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dikuasai oleh negaranya,
ikut menarik minat Beek remaja untuk dapat ‘bertualang’ di negara yang
kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala
Beek berusia 22 tahun. Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia
dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama
Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau
Jawa. Tujuan dari misi yang kedua ini jelas, agar masyarakat Pulau Jawa
dapat dikuasai dan penjajahan negaranya terhadap Indonesia, dapat
dilanggengkan.
Beek
bekerja dengan sangat baik karena ia mencatat apa pun yang berhasil ia
amati setiap hari dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa. Menurut Sembodo
dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu Beek
bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi
penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama
yang dipeluk mayoritas masyarakatnya, yakni Islam. Itu sebabnya
kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh
para pemuka agama yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam ini. Contohnya Pangeran Diponegoro. Beek bahkan menyimpulkan,
jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin
langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan
mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat dikristenkan
dengan lebih mudah.
Selesai
melaksanakan tugas, Beek kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk
kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya
membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan
kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengkristenkan pemeluknya
demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya
agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.
Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke
Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di
Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga
ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari
banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk
menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan
menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang
hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA.
Tak heran jika Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan
CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi,
statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga
anggota CIA dan Freemasonry atau Vrijmetselarij.
Anda mungkin meragukan hal ini, karena menurut Anda, bagaimana mungkin seseorang menjadi agen dua organisasi sekaligus? Kalau begitu, mari kita mundur jauh ke belakang, ke abad 13.
Pada
abad 13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda
menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian.
Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir
Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan
berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam
yang berarti empang dalam bendungan Amstel.
Seiring
berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir
pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh
para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat
kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang
sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol lah
yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam
memberontak.
Namun,
pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah
jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang
antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80
Tahun’.
Sejak
awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan
Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi
dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka
tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam lah
yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling
banyak.
Abad
ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha
kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang
kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin
makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.
Dari
sejarah ini jelas bahwa sejak kecil, Beek telah hidup bersama
orang-orang Yahudi, dan kehidupan sosialnya bersinggungan dengan mereka.
Apalagi karena seperti telah disinggung di bagian awal tulisan ini,
lambang VOC diduga merupakan kamuflase dari lambang Bintang David,
lambang kaum Yahudi dengan organisasi Freemasonry-nya yang di Belanda
bernama Vrijmetselarij.
Namun
demikian, menurut Sembodo dalam bukunya, Freemason sendiri baru
mengenal sosok Beek setelah diperkenalkan oleh para petinggi Ordo Jesuit
yang di antaranya bahkan ada yang telah menjadi anggota organisasi itu.
Sejak sosok Beek diperkenalkan, minatnya untuk dapat kembali ke
Indonesia dan menyebarkan agama Kristen di Bumi Nusantara, telah menarik
perhatian para petinggi Freemasonry. Apalagi karena para Mason yang
menganut Kaballah, tidak menyukai Islam, meski mereka juga tidak
menyukai Kristen. Maka, di sinilah titik temu antara Freemason dengan
Beek, sehingga Beek menjadi bagian dari organisasi itu.
Sembodo
menyebut, Freemason “memanfaatkan” Beek karena seperti halnya Belanda,
mereka juga ingin tetap eksis di Indonesia demi meraup kekayaan hasil
bumi rakyat Indonesia. Apalagi karena ketika Jepang berkuasa di
Indonesia, mereka terpaksa lari terbirit-birit karena pemerintah Negara
Matahari Terbit itu tidak menyukai mereka.
Lantas, mengapa Beek direkrut CIA? Jawabannya mudah.
Amerika
Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini
dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya.
Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang
yang menggantikan Belanda sebagai penjajah negara ini.
Setahun
sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar
pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok
Barat, khususnya AS yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda
yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu.
Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam
empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi
politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah
pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran
Komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama,
dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam AS dan
antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun
internasional.
Bagi
Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas
menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang
keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.
Fakta
bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J.
Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel
berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam
artikel ini, George menulis begini;
“Menurut
cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek
adalah pastur radikal antikomunis yang bekerja sama dengan seorang
pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah
meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat
China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti
jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur
mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah
seorang Kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh
dunia”.
Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’.
Bagi
Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk
ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung
sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan
intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak
intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal
keagamaan, namun juga berwawasan modern.
Pendirian
IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan
orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya
mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan
eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala
itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih
dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung
itu juga merupakan salah satu pusat pengkatolikkan di Indonesia.
Dalam
buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis,
dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian.
Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan
Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal
Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater)
Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah
kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan
Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan
politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa
dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap
saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi,
menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski
mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan
aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar
kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih
mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa,
sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski
dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak
orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu
adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang
Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia
atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan
apa yang ia inginkan.
Siapa sajakah pion-pion ini?
Pada
era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) yang sangat antikomunis, namun juga tidak mendukung
Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas
gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan
Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Selain
kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki
struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari
tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando
tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur
dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh
dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap
berada di Vatikan.
Kesamaan
struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA.
Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan
persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya
untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang
berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan
sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2014 ini.
Kerja
sama TNI AD dengan CIA dijalin pada 1950-an, saat Bung Hatta menjadi
perdana menteri. Salah satu realisasi kerja sama ini adalah pengiriman
17 orang pilihan di lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan di Saipan
Training Station (Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana yang berjarak
82 kilometer sebelah barat daya Manila, Philipina. Menurut Ken Comboy
dalam buku berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen Indonesia’, Saipan Training
Station merupakan pusat pelatihan para agen mata-mata dan pasukan khusus
yang sepaham dengan Amerika. Setelah 17 orang dari TNI AD dikirim ke
sana, selanjutnya ada lagi yang dikirim, namun dalam jumlah yang
berbeda-beda.
Dalam
buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan
senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal
Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan
pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?
Selama
kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan para
perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia dengan
mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan pribadi
yang powerfull dan mudah bergaul. Dalam setiap obrolan maupun
pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan visi kuat yang mampu
menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia juga
memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan, sehingga setiap kata
yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para lawan bicaranya.
Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari
informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu
singkat, tiga orang telah terbidik, yakni Soeharto, Yoga Sugama dan Ali
Murtopo. Mengapa mereka? (bersambung …)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar