Minggu, 09 Maret 2014

Organisasi Yang Ikut Berperan Merusak Indonesia

freemasonry
Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang panjang, dimulai dari sebuah negeri kepulauan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan, hingga terbentuk menjadi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta.
Namun mungkin belum terlalu banyak yang tahu bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia sebenarnya tak hanya telah dijajah Belanda selama 350 tahun dan oleh Jepang selama 3,5 tahun, namun juga oleh “sebuah kekuatan besar” yang bekerja secara diam-diam, namun teramat sangat efektif. “Kekuatan besar” inilah yang ikut bertanggung jawab atas hilangnya jiwa nasionalis di kalangan pejabat dan pemimpin negara kita, sehingga korupsi demikian marak, dan bahkan tak sedikit anak bangsa yang rela menjadi kaki tangan asing, khususnya sekutu kekuatan besar tersebut, yakni Amerika, sehingga meski kebijakan yang dibuatnya didengung-dengungkan demi kesejahteraan rakyat, namun sesungguhnya kebijakan itu lebih berpihak kepada negara asing kepada siapa dia “mengabdi”.
“Kekuatan besar” itu saat ini lebih dikenal dengan sebutan kaum kapitalis atau pemilik modal, sebuah istilah yang merujuk kepada para pengusaha Yahudi. Kaum ini memiliki sebuah organisasi rahasia yang keberadaannya diproklamirkannya di Inggris pada 24 Juni 1717, yakni Freemasonry. Di Belanda, nama organisasi ini adalah Vrijmetselarij.
 VrijmetselarijSejumlah sumber rujukan menyebutkan, Freemason dari Belanda merupakan pihak yang paling berperan dalam membentuk wajah Indonesia hingga seperti sekarang ini; korup dan tak kunjung menjadi negara besar sebagaimana dicita-citakan para pejuang yang merebut kemerdekaan dari Belanda dan Jepang, meski tanah Indonesia subur makmur dan kaya akan kandungan yang dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber rujukan itu bahkan menyebut, Vrijmetselarij memiliki andil besar dalam sejumlah peristiwa besar di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30 S/PKI.

VOC-1Dalam buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’, Herry Nurdi memperkirakan, para Mason Belanda memasuki Indonesia bersamaan dengan masuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad 17 untuk mencari rempah-rempah. Perkiraan ini merujuk pada lambang milik perusahaan Belanda itu yang berupa huruf V besar dengan huruf O dan C yang menempel pada kedua kaki V, dan huruf A di atasnya. Jika kedua kaki huruf A ditarik hingga memanjang ke bawah dan kedua kaki huruf V ditarik hingga memanjang ke atas, maka akan terbentuk simbol bintang David, simbol Freemasonry. Apalagi karena dalam bahasa Belanda tidak dikenal huruf A, sehingga lambang VOC dicurigai sebagai penyamaran lambang organisasi persaudaraan rahasia kaum Yahudi itu.
Dan untuk diketahui, sejak awal eksistensinya, Freemason selalu berusaha agar tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaannya. Tak heran jika ketika mereka memasuki Indonesia, mereka menggunakan nama Vrijmetselarij.
Berdasarkan laporan tentang sejarah para Masonik di Indonesia yang diterbitkan Paul van der Veur pada 1976 dan diberi judul ‘Freemasonry in Indonesia from Radermacher to Soekanto 1762-1962’, diketahui kalau gerakan Freemasonry di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dirintis oleh J.C.M. Radermacher. Dia jugalah yang memprakarsai pembangunan lodge pertama di Batavia yang diberi nama ‘La Choisie’ atau ‘Yang Terpilih’ pada 1762. Bahkan nama Radermacher digunakan sebagai nama sebuah organisasi yang disebut Perhimpunan Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan atau Batavian Society of Arts and Science.
Raden Said Soekanto TjokrodiatmodjoRaden Said Soekanto TjokroadimodjoNama Soekanto yang disebut dalam laporan Paul van der Veur adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmojo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kapolri, dan yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit Polri di Kramatjati, Jakarta Timur, yakni RS Soekanto. Dalam bukunya, Herry Nurdi menyebut, Soekanto pernah menjadi Suhu Agung para Vrijmetselarij di Indonesia, dan sejak 1952 namanya tercatat di Lodge Purwo Daksina.
Pada awal-awal Freemasonry merambah Indonesia, para pengikutnya adalah orang-orang Belanda yang berdarah Yahudi dan orang Eropa non Yahudi dengan beragam profesi, terutama pedagang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, banyak penduduk pribumi, khususnya penduduk Pulau Jawa, yang menjadi anggota organisasi ini. Bahkan Van Niel, sejarawan Amerika, menyebut, bahwa pendidikan yang disumbangkan kaum Masonik turut berperan dalam melahirkan kaum elit modern di Indonesia, karena sejak mulai berkiprah, para Masonik membangun sekolah-sekolah dan memberikan pendidikan kepada kaum miskin, serta memberikan kesempatan kepada kaum muda Jawa yang berbakat untuk melanjutkan pendidikan di Eropa. Seluruh biaya ditanggung oleh para Vrijmetselarij. Maka tak heran jika gerakan para Mason di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, begitu cepat berkembang, bahkan berhasil menarik sejumlah orang penting ke dalam organisasinya.
gusti-pangeran-adipati-ario-notodirojoAdipati-TirtoKoesoemoSelain Soekanto, menurut Herry Nurdi, Pangeran Ario Notodirodjo yang merupakan ketua Boedi Oetomo 1911-1914, juga pernah menduduki jabatan tinggi di Vrijmetselarij, dan namanya tercatat di Lodge Mataram sejak 1887. Raden Adipati Tirto Koesomo, bupati Karanganyar yang juga ketua Boedi Oetomo, juga merupakan anggota di Lodge Mataram. Pengurus Boedi Oetomo yang lain yang juga anggota Freemasonry adalah Mas Boediardjo yang pada 1916-1922 menjabat sebagai inspektur pembantu divisi Inlands Onderwijs atau Pendidikan Pribumi.
Adik Pangeran Ario Notodirodjo, Pangeran Koesoemo Yoedho, putra Paku Alam V, berkali-kali menjadi pengurus di Lodge Mataram sejak dilantik menjadi anggota Vrijmetselarij pada 1909. Bahkan pada 1930, dia menjadi pengurus pusat dan merupakan orang Jawa pertama yang mempelajari indologi di Leiden, Belanda, dan lulus ujian besar, ujian yang biasanya hanya diperuntukkan bagi orang Belanda saja.
Tokoh lain yang menjadi anggota Vrijmetselarij adalah Dr. Radjiman Wediodipoera, tokoh penting dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan yang menjadi ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersama mantan Presiden Soekarno. Juga Raden Saleh (1810-1880), pelukis terkenal.
Pangeran-Koesoemo-Yoedho1Dr-radjiman-wKetika Belanda menjajah Indonesia dan mengambil alih kekuasaan VOC, gerakan Freemasonry sempat menghadapi kendala berarti, karena kerajaan Belanda yang dekat dengan gereja dan para pemimpin Katolik, bersikap memusuhi para Mason, dan menganggapnya sebagai “makhluk-makhluk berbahaya bagi negara dan agama”. Namun, kuatnya jaringan para Mason, membuat gerakan Freemasonry tetap tak terbedung. Kekuatan jaringan ini antara lain karena di antara para Mason ada yang berprofesi sebagai pengusaha, petinggi militer, pengacara, notaris, pegawai pengadilan, bahkan polisi. Masonik yang berprofesi sebagai pengacara di antaranya Nicolas Maas yang merupakan anggota Lodge La Fidele Sincerete, lodge kedua yang dibangun para Mason di Batavia pada 1767; Masonik yang berprofesi sebagai tentara di antaranya Mayor Zeni C.F. Reimen yang juga anggota Lodge La Fidele Sincerete; dan yang berprofesi sebagai pegawai pengadilan di antaranya P.A. de Win, juga anggota Lodge La Fidele Sincerete.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, para Mason sempat kocar-kacir sehingga untuk sementara gerakan organisasi Yahudi ini terhambat. Namun setelah Jepang menyerah karena dua kotanya,
raden-salehHiroshima dan Nagasaki, dibom atom Amerika Serikat pada 14 Agustus 1945, kekuatan Freemasonry kembali menguat, bahkan terus berkembang, sehingga makin banyak lodge-lodge yang dibangun, yang pembangunannya tak hanya di Batavia, tapi juga di kota-kota lain, hampir di seluruh Indonesia, seperti di Semarang, Surabaya, Tegal, Pekalongan, dan beberapa kota di Pulau Sumatera.
Di Indonesia, lodge yang merupakan markas para Masonik untuk melakukan berbagai kegiatan untuk kepentingan organisasinya, disebut loji. Ada kisah menarik di balik pembangunan loji di Pekalongan, karena ketika pembangunan gedung ini nyaris rampung, masyarakat setempat menolak keberadaannya karena menilai acara-acara ritual yang dilakukan para Mason di loji itu, sesat. Dan saat ini, Loji tersebut dikenal dengan nama Gedong Setan. Mengapa demikian?
kha.dahlanSeperti kita tahu, kaum Yahudi menganut Kabbalah, sebuah kepercayaan yang bersumber dari tradisi lisan Mesir kuno yang mengandung filsafat esoteris dan ritual penyembahan serta pemujaan berhala dan Lucifer, raja Iblis. Maka ketika berada dalam gedung itu, yang dilakukan para Mason bukan hanya membahas hal-hal yang terkait dengan organisasi mereka saja, tapi juga melakukan ritual-ritual untuk menyembah berhala dan setan. Itu sebabnya masyarakat Pekalongan menilai ritual yang dilakukan para Mason di lojinya sesat, dan loji itu kemudian dijuluki Gedong Setan.
Anda mungkin bertanya-tanya mengapa begitu banyak tokoh Boedi Oetomo yang menjadi Mason, atau bahkan mungkin tak percaya? Untuk mencapai tujuannya, Yahudi melakukan berbagai cara, termasuk menyusupi bidang pendidikan, kebudayaan, dan kesenian demi membentuk intelektual-intelektual yang dapat disusupi ke berbagai bidang pemerintahan dari suatu negara yang ingin dikuasainya, sehingga dengan demikian organisasi ini memiliki kekuatan pendukung dan pelindung yang kuat, yang memungkinkan gerakan mereka terus tumbuh dan berkembang tanpa dapat dibendung.
dr-soetomoSejarah mencatat, Boedi Oetomo dikenal sebagai organisasi kepemudaan pribumi di era kolonial Belanda yang mencetuskan nasionalisme, dan menjadi salah satu penopang pergerakan pemuda di Tanah Air untuk melawan Belanda. Namun Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’ menyebut, lembaga pendidikan ini justru sangat menentang nasionalisme, karena sejak Vrijmetselarij ‘menunggangi’ organisasi ini, para Mason telah mencekoki para tokohnya dengan berbagai doktrin, termasuk doktrin Indonesia Baru yang dikonsep sesuai dengan tujuan mereka untuk menguasai dunia, dan sikap mereka yang menolak Islam serta Kristen, karena mereka menganut Kabbalah. Maka tak heran ketika KH. Ahmad Dahlan, salah seorang tokoh senior Boedi Oetomo, mengusulkan agar di organisasi mereka diadakan pengajian, mayoritas tokoh Boedi Oetomo menolak. Bahkan para penolak usulan kyai yang pada 1912 mendirikan Muhammadiyah itu tak segan-segan menghina dan menghujat Islam, serta menghasut umat Islam agar tak perlu berhaji karena hanya membuang-buang uang.
Salah satu tokoh Boedi Oetomo yang bersikap keras terhadap Islam di antaranya Dr. Soetomo yang kemudian membentuk Surabaya Studie Club dan berdebat sengit dengan Sarekat Islam tentang banyak hal terkait dengan masalah-masalah ke-Islam-an, termasuk dalam hal berbangsa dan bernegara.
Dalam kongres yang diselenggarakan pada 1952, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan mereka.
ann-besantApa yang didoktrin para Mason kepada para tokoh Boedi Oetomo antara lain dapat dilacak dari tulisan Annie Besant, pemimpin besar Theosofische Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di Hindia Belanda (baca; Indonesia) yang juga seorang Mason keturunan Belanda. Dalam artikel berjudul Soal Doenia yang diterbitkan majalah Liberty, Surabaya, Annie menulis begini ; “Ada orang mengira bahwa nilai dari tanah Arab, Nabi Muhammad ada berlainan dari Nabi dari agama-agama lainnya. Semua itu, meskipun berlainan rupanya, dan orang menganggap apa yang menjadi kenyataan sendiri ada lebih tinggi. Padahal semua agama itu menjadi sekawan dalam Rumah Bapak ini”.
Annie juga menyatakan, bahwa fanatisme agama adalah penyebab perseteruan dan konflik sosial di masyarakat. “Meskipun agama bukan satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran”.
Tulisan ini jelas sekali menunjukkan doktrin antiagama dan sekuler, dua dari begitu banyak doktrin yang diusung Freemasonry untuk mencapai tujuannya menguasai dunia (soal Freemasonry, lebih detil bisa diklik DARI SINI). Doktrin inilah yang antara lain diduga kuat dicekoki kepada para tokoh Boedi Oetomo sehingga mereka ‘memusuhi’ Islam. Doktrin ini dicekoki melalui berbagai cara, termasuk melalui gerakan Theosofi, sebuah gerakan yang dilembagakan dengan nama Perkumpulan Theosofi dan didirikan Freemasonry di New York, Amerika Serikat, pada 17 November 1875. Perkumpulan berbentuk badan internasional ini memiliki tiga tujuan utama, yakni mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit; memajukan pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan; dan menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam.
Agus SalimSekilas, ketiga tujuan itu memang sangat baik dan mulia, namun jika dicermati lebih mendalam, tujuan-tujuan itu cenderung merusak agama dan tatanan hidup manusia, karena dari perkumpulan inilah kemudian muncul istilah-istilah pluralisme, kebebasan berfikir, liberalisme, bahwa semua agama itu sama, dan lain-lain, serta mendorong orang untuk mengkaji hal-hal ghaib seperti mengkaji tenaga dalam dari alam maupun dari dalam diri manusia sendiri. Bahkan saat memberikan ceramah dalam pertemuan The Indonesian-Pakistan Culture Association yang diselenggarakan di Amerika pada 9 Desember 1953, tokoh nasional yang dikenal sebagai diplomat ulung, H. Agus Salim, mengaku, kalau keterlibatannya dalam Perkumpulan Theosofi membuatnya ‘terjerumus’ ke dalam dunia politik selama lebih dari 40 tahun.
Achmad soebardjo“Namun di sini hendak saya ikrarkan, bahwa mulai saat ini pesan yang hendak saya bawa ialah pesan agama Islam. Saya tidak akan menghiraukan soal-soal politik, karena bila ada terdapat suatu upaya untuk menyembuhkan segala penyakit di dunia ini, saya yakin upaya itu tidak lain daripada mencari jalan menuju ke Allah, dan memperjelas jalan itu,” tegasnya.
Tak lama setelah mengeluarkan pernyataan ini, Agus Salim keluar dari Perkumpulan Theosofische Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di Indonesia.
Tokoh nasional yang lain yang pernah tercatat sebagai tokoh Perkumpulan Theosofi, menurut Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia’, adalah ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dan Achmad Subardjo, salah seorang menteri dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno. Dr. Radjiman adalah propagandis terkemuka yang menyebarkan ajaran-ajaran Theosofi melalui cerita-cerita wayang.
Bukti bahwa Boedi Oetomo dibina oleh Vrijmetselarij di antaranya adalah, Kongres I organisasi ini pada 1926 terlaksana berkat inisiatif Theosofische Vereeninging dan diselenggarakan di Loji Broederkarten, sehingga sempat menimbulkan gelombang protes di kalangan pemuda dalam anggota organisasi itu, dan Kongres II diselenggarakan di Loji Mataram dan dihadiri Bupati Karanganyar Raden Adipati Tirto Koesomo yang merupakan tokoh Vritmetselarij dan tercatat sebagai anggota Loji Mataram sejak 1895.
e-pluribus-unum2Karenanya, menurut Herry Nurdi, tidak berlebihan jika disebutkan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia untuk meraih kemerdekaan, bahkan gerakan yang dianggap pemerintah sebagai pelopor kebangkitan Indonesia seperti Boedi Oetomo, sangat terwarnai, bahkan dipengaruhi oleh gerakan Zionis Internasional melalui Vrijmetselarij sebagai kepanjangan tangannya di Indonesia. Bahkan cermati baik-baik tulisan pada lambang negara Amerika Serikat, burung Rajawali, yang berhiaskan tulisn ‘E Pluribus Unum’ dengan tulisan pada lambang negara Indonesia, Garuda, yang berhiaskan tulisan ‘Bhineka Tunggal Ika’.E Pluribus Unum berarti ‘satu dari yang banyak’, sementara Bhineka Tunggal Ika berarti ‘meski berbeda-beda namun tetap satu’. Kedua kalimat itu memiliki makna yang sama.
bhineka-tunggal-ikaSelain persamaan makna kata itu, coba cermati baik-baik lambang negara Indonesia dan Amerika, akan terlihat mirip, dan bahkan sama-sama memiliki perisai di dadanya. Menurut Herry Nurdi, lambang negara Indonesia sebenarnya merupakan bentuk lain dari Dewa Horus, salah satu simbol suci bagi masyarakat Yahudi.
Tentang hal ini, penulis buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’ ini merujuk pada penjelasan tentang lambang negara yang tercantum dalam lembaran negara Peraturan Pemerintah (PP) No. 66/1951 tanggal 17 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Pasal 3 PP ini menjelaskan, “Burung Garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang tenaga pembangun (creative vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung Garuda dari mythology menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung Elang Rajawali. Burung itu dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai lukisan berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap (Dieng); di Candi Prambanan dan di Candi di Jawa Timur rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan garuda di Candi Mendut, Prambanan, dan Candi-candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur”.
Kalimat-kalimat yang di-bold dan digarisbawahi memiliki penggambaran yang sama persis dengan sekripsi wujud Dewa Horus, yakni berupa manusia berparuh burung dan bersayap, berambut, dan bercakar.
Awal-awal kemerdekaan RI merupakan awal-awal yang menegangkan bagi para pelaku sejarah, terutama yang beragama Islam, karena pada saat itulah mereka harus ‘berhadap-hadapan’ dengan wakil para Freemasonry yang ingin ‘menggenggam’ Indonesia sebagaimana organisasinya telah menguasai Amerika dan menjadikannya sebagai kuda Troya demi mengusai dunia. Mengapa organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu sangat menginginkan Indonesia? Jawabannya mudah.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil bumi seperti rempah-rempah, minyak, emas, perak, batu bara, dan sebagainya, dan merupakan negara yang amat luas dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Untuk dapat menguasai dunia, Yahudi membutuhkan sumber dana yang tak terbatas, maka strategi Adam Weishaupt, salah seorang tokoh Freemason, diberlakukan di sini, yakni penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi dan kekayaan keturunan.
freeportDengan menerapkan strategi ini, maka dapat dimengerti mengapa tak lama setelah Soeharto diangkat menjadi presiden untuk menggantikan Soekarno pada 12 Maret 1967, dengan dalih kerjasama dalam bentuk kontrak karya, pada tahun itu juga Soeharto dengan ikhlas ‘menyerahkan’ lahan tambang di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, untuk dikelola Amerika. Hingga kini Indonesia hanya menikmati secuil dari cadangan kekayaan alam di sana, karena 81,28% saham di PT. Freeport Indonesia, perusahaan pengelelola lahan tambang itu, dikuasai Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., yang berkantor pusat di New Orleans. Gilanya lagi, 9,4% saham di PT. Freeport Indonesia dimiliki PT. Indocopper Investama yang 100% sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc., sementara saham pemerintah Indonesia sebagai pemilik lahan hanya 9,32%!
Padahal, cadangan tembaga di Tembagapura itu disebut-sebut sebagai ketiga terbesar di dunia, sedang cadangan emasnya merupakan yang terbesar di dunia. Per tahun, dari lahan ini PT. Freeport Indonesia mengeduk pemasukan sedikitnya US$ 2,3 miliar.
orde-baruSelain beroperasi di Indonesia, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. juga menggarap lahan tambang di Colorado, New Mexico, dan Arizona, ketiganya di Amerika Utara. Juga beroperasi di Chili dan Peru (Amerika Selatan), serta Kongo (Afrika).
Dengan strategi penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi, sejak awal kebangkitan Indonesia pasca kemerdekaan, terutama selama era Orde Baru, Freemasonry melalui para Mason-nya di Indonesia, mempropagandakan ide-ide yang menyatakan bahwa produk luar negeri lebih bermutu dibanding produk dalam negeri, dan orang akan merasa lebih bergengsi bila dapat mengonsumsi atau mengoleksi barang-barang buatan luar negeri, sehingga apa pun yang diproduksi di luar negeri, terutama Amerika Serikat, laris dibeli oleh orang Indonesia. Maka tak heran jika pemerintah harus berjuang habis-habisan agar bangsa Indonesia lebih mencintai produknya sendiri. Hingga kini, karena ide-ide itu telah tertanam kuat di benak sebagian bangsa Indonesia, terutama di kalangan atas, upaya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil. Maka jangan heran jika produk KFC, McDonald dan sebagainya, sangat laris, sementara produk sejenis (ayam goreng atau fried chicken) yang dijual di restoran Indonesia dan warteg, hanya menjadi konsumsi masyarakat kalangan bawah, serta sebagian kalangan menengah. Jadi, tanpa kita sadari, sejak awal Soekarno terguling pada 1967, Yahudi melalui Freemasonry tak hanya menjadikan Indonesia sebagai ‘lumbung uang’ yang dapat dikeruk setiap hari, tapi juga menjadikan negara ini sebagai pangsa pasar produk-produk yang juga mereka hasilkan.
i-love-americaDi dunia hiburan, mereka menjadikan Amerika sebagai yang terdepan, sehingga dibanding film-film dan musik yang dijual negara lain, penduduk Indonesia lebih menyukai film-film dan musik buatan Amerika, bahkan menjadikan negara itu sebagai barometer. Jadi, sekali lagi, tanpa disadari kita sebenarnya telah dikepung Yahudi dari berbagai arah agar mereka mendapatkan income sebesar-besarnya dari Indonesia demi tujuan menguasai dunia.
Puncak ketegangan para pejuang non Masonik dengan para Masonik pada awal-awal kemerdekaan Indonesia, menurut Herry Nurdi dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia” adalah hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta atau The Jakarta Charter yang menjadi pembukaan UUD 1945. Ketujuh kata dimaksud adalah “ … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Piagam Jakarta dirumuskan oleh tim sembilan yang terdiri dari Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wachid Hasyim, dan Muhammad Yamin, dan ditetapkan pada 22 Juni 1945. Ketujuh kata itu hilang pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah teks Proklamasi dibacakan. Salah seorang yang berperan atas hilangnya kata itu adalah Muhammad Hatta.
bung-hattaDalam buku berjudul “Sekitar Proklamasi 17 Ags 45” pada bab 5, Bung Hatta menjelaskan; “pada sore hari saya menerima telepon dari Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda, yang menanyakan dapatkah saya menerima seorang opsir kaigun (Angkatan Laut Jepang), karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nisyijima sendiri yang menjadi juru bahasanya. Saya persilahkan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui, bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika ‘diskriminasi’ itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia”.
roemAtas hilangnya tujuh kata itu, Muhammad Roem mengatakan begini; “Hilangnya tujuh perkataan itu dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam merelakannya. Karena itu Menteri Agama Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara menamakan Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada RI”.
Namun dalam pengantar buku “Piagam Jakarta 22 Jumi 1945” yang ditulis H. Endang Saifuddin Anshari, Roem mempertanyakan begini ; “Apakah opsir Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Darimana Kigun mengambil wewenang untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa mereka lebih baik di luar Republik Indonesia kalau ketujuh kata itu ada dalam preambule UUD 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara lain duduk Mr. AA Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen? Bukankah dalam pleno BPUPKI yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen lainnya, antara lain Mr. Latuharhari, seorang pemimpin terkemuka?”
Jadi, jelas ada yang bermain di balik hilangnya ketujuh kata tersebut, dan diduga kuat para Mason lah pemain tersebut, karena Yahudi tak menyukai agama, termasuk Islam, dan Yahudi tak ingin Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, menjadi negara yang berlandaskan Islam. Mereka ingin Indonesia menjadi negara sekuler, negara yang tidak membaurkan agama dengan pemerintahan. Apalagi karena seperti telah diulas sebelumnya, Haji Agus Salim dan Achmad Soebardjo merupakan anggota Perkumpulan Theosofi, sehingga dapat dianggap termasuk kaum Masonik.
m.yaminDalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia”, Herry Nurdi bahkan menengarai kalau Muhammad Yamin pun seorang Masonik karena dia anggota senior Jong Sumatrenan Bond atau Ikatan Pemuda Sumatera, organisasi yang didirikan di kawasan Weltervreden yang sekarang bernama Gambir. Organisasi ini berdiri karena difasilitasi Perhimpunan Theosofi atau Theosofische Vereniging. Bukti bahwa organisasi ini terkait dengan Freemasonry dapat diendus dari monumen yang dibangun organisasi ini di lapangan Segitiga Michiels, persis di depan Oranje Hotel yang kini bernama Hotel Muara, pada 6 Juli 1919. Monumen yang rampung pada 1920 itu berbentuk obelisk dengan paramida pada puncaknya, serta bola dunia bertengger di atas puncak itu. Obelisk, piramida, dan bola dunia adalah simbol-simbol agung Freemasonry. Herry menulis, dari organisasi inilah Muhammad Yamin kemudian terjun ke percaturan politik Tanah Air, dan menjadi salah satu dari tiga tokoh yang membuat lambang negara Indonesia, burung garuda. Dua tokoh lainnya adalah Sultan Hamid II dan Ki Hajar Dewantara.
Sultan Hamid IISultan Hamid II dan Ki Hajar Dewantara, menurut Herry Nurdi, memiliki kaitan erat dengan Vrijmetselarij atau Freemasonry, karena Ki Hajar Dewantara merupakan salah seorang anggota senior sekaligus pendiri Boedi Oetomo yang ditunggangi organisasi persaudaraan rahasia Yahudi tersebut. Sedang Sultan Hamid II yang lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie pada 12 Juli 1913 adalah keturunan Abdul Rachman, Sultan Pontianak yang terdaftar dalam persaudaraan Vrijmetselarij di Surabaya pada 1944.
Jenjang pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda di Breda. Pada masa kemerdekaan, Sultan Hamid II diangkat Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Ketika Soekarno membentuk Panitia Lencana Negara pada 10 Januari 1950, dia ditunjuk sebagai kordinatornya. Lambang negara hasil buatan panitia ini, lambang garuda, diperkenalkan Soekarno kepada seluruh masyarakat Indonesia pada 15 Februari 1950.Ki Hajar-Dewantara
Patut untuk mencurigai, bahwa Indonesia sebenarnya mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan Amerika Serikat (AS), yakni sudah dicengkeram dengan erat oleh Yahudi melalui Freemasonry dan gerakan Zionis Yahudi Internasionalnya. Hanya saja, jika Amerika Serikat dijadikan sebagai basis pergerakannya untuk menguasai dunia, sehingga negara itu dijadikan yang terhebat, bahkan sangat berpengaruh, Indonesia sebaliknya.
Karena Indonesia hanya satu dari begitu banyak negara di dunia yang mungkin saja hanya dijadikan sebagai lumbung untuk mendapatkan income sebanyak-banyaknya, maka seperti inilah yang kita alami sekarang; tidak maju-maju, bahkan terpuruk akibat berbagai persoalan yang datang silih berganti, seperti tak ada habisnya, namun tak mampu diselesaikan hingga tuntas oleh pemerintah.
Kasus Freeport merupakan salah satu kasus yang memilukan, karena meski cadangan tembaga yang terkandung di bumi Tembagapura merupakan ketiga terbesar di dunia, dan cadangan emasnya merupakan yang terbesar di dunia, kita nyaris tidak menikmatinya sama sekali, mengingat saham pemerintah hanya 9,32%!
soekarnoAnda yang belum tahu mungkin terkejut, karena the founding father kita, Soekarno, ternyata juga seorang keturunan Yahudi. Mengutip dari Dr. Abdullah Tal, seorang peneliti muslim yang menulis artikel berjudul “Al Af’al Yahudiyah Fi Ma’aqalil Islami’ yang diterbitkan Al Maktab Al-Islamy, sebuah media terbitan Beirut, Herry Nurdi dalam buku “Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia” menyebut kalau Soekarno adalah keturunan Yahudi dari suku Dunamah, salah satu suku Yahudi yang bermukim di Turki. Karena itu, Abdullah Tal tak heran ketika Soekarno masih menjadi presiden, dia menerima Komunis sebagai orientasi pembangunan negara dengan doktrin Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), dan tak heran pula jika Soekarno memenjarakan sekian banyak kawan seperjuangannya yang berasal dari kalangan Islam, seperti Muhammad Natsir, Dr. Sjahrir, Burhanuddin Harahap, Mohammad Roem, dan lain sebagainya, serta membubarkan Masyumi.
Sayangnya, Herry tidak mendapatkan sumber pasti tentang silsilah Soekarno, namun berhasil mendapatkan data kalau ayahanda Soekarno merupakan seorang anggota Perkumpulan Theosofi di Surabaya. Karena status ayahandanya inilah Soekarno dapat dengan bebas memasuki perpustakaan Perhimpunan Theosofi di Surabaya, dan membaca koleksi buku-buku di situ. Tentang hal ini, Soekarno pernah berkata ; “Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini (Surabaya) yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnya buat seorang yang miskin. Aku menyelam lama sekali di dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah fikiran mereka menjadi buah fikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku …”
Dr.-Sun-Yat-SenDasar negara Indonesia, Pancasila, termasuk salah satu hasil pemikiran Soekarno yang disampaikan dalam sidang BPUPKI. Ketika pertama kali disampaikan, kelima dasar tersebut adalah kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Ketika menjabarkan tentang nasionalisme dan internasionalisme, Soekarno mengatakan begini ; “Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S di Surabaya, saya dipengaruhi seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya, jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia. Jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 18, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingati saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapatkan pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh “The Three People’s Principles”. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk liang kubur”.
Karl-MarxA Baars, menurut Herry Nurdi, berdasarkan penjelasan Soekarno sendiri, adalah seorang penganjur Marxis dan termasuk orang yang kemudian menumbuhkan benih komunisme di Indonesia. Bahkan dia menjadi anggota Partai Komunis Indonesia yang didirikan Semaun dan Darsono. Sedang Dr. Sun Yat Sen adalah tokoh Revolusi Tiongkok dan pendiri Partai Kuomintang. Besar kemungkinan Sun Yat Sen juga seorang Freemasonry Cina yang pada 1912 mendirikan Tiongkok Merdeka, karena seperti yang mungkin juga telah Anda ketahui, bahwa teori Komunisme, Marxisme, dan Sosialisme, dicetuskan oleh Karl Marx, seorang pemikir Yahudi pada abad 18. Dengan Komunisme lah, serta dukungan Freemasonry, Lenin berhasil menggulingkan kaisar Rusia, Tsar Nicholas II, melalui revolusi pada Oktober 1917. Yahudi menciptakan Komunis untuk menjauhkan manusia dari agama.
Seorang ilmuwan lulusan Madina University, Abdullah Pattani, pernah secara khusus menelaah lima dasar yang dicetuskan Soekarno, dan menuliskannya menjadi sebuah artikel berjudul ‘Freemasonry di Asia Tenggara’ yang dipublikasikan oleh Madinah Al-Munawarah. Dalam artikel tersebut dinyatakan, bahwa ada kemiripan antara lima dasar tersebut dengan dasar-dasar yang digunakan Zionis sebagai ladasan gerakannya, dan konsep Sun Yat Sen, karena dasar-dasar gerakan Yahudi adalah internasionalisme, nasionalisme, sosialisme, monotheisme cultural, dan demokrasi. Sedang konsep Sun Yat Sen adalah mintsu (nasionalisme), min chuan (demokrasi), dan min sheng (sosialisme). Soekarno sendiri pernah memeras kelima dasar yang dicetuskannya hingga menjadi tiga dasar yang dikenal dengan istilah trisila, yakni sosio nasionalisme atau kebangsaan dan prikemanusiaan, sosio demokrasi yang mencakup demokrasi dan kesejahteraan nasional, dan ketuhanan. Bahkan trisila tersebut pernah diperas lagi hingga hanya menjadi satu sila, yakni gotong royong.
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” ujar Soekarno.
Namun apa pun dan bagaimana pun sepak terjang Freemasonry di Indonesia, pada akhirnya membuat Soekarno gerah. Pada 27 Februari 1961. presiden pertama RI itu mengeluarkan peraturan yang dicatat dalam Lembaran Negara nomor 18 Tahun 1961 tentang pelarangan aktifitas tiga buah organisasi yang terkait dengan organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu, yakni Vrijmentselaren-Loge (Loge Agung Indonesia) atau Freemasonry Indonesia, Moral Rearmemant Movement, dan Ancient Mystical Organization of Sucen Cruiser (Amorc). Soekarno maupun Sekretariat Negara tidak menjelaskan secara detil apa dasar pelarangan tersebut, selain penjelasan bahwa ketiga organisasi itu dilarang karena merupakan organisasi yang memiliki dasar dan sumber dari luar Indonesia yang tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Peraturan ini dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 Tahun 1962 tentang Pembubaran dan Pelarangan Vrijmetselarij atau Freemasonry.
Gus-DurLima tahun setelah Keppres ini keluar, atau pada 1967, Soekarno terguling dari jabatan sebagai presiden, dan digantikan oleh Soeharto. Pada 2000, atau 33 tahun setelah Soekarno turun tahta, Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid mencabut Keppres nomor 264 Tahun 1962  dan menggantinya dengan Keppres nomor 69 Tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000. Sejak itu ketiga organisasi yang dilarang pada zaman Soekarno, kembali aktif di Indonesia. Begitupula dengan organisasi-organisasi Yahudi yang lain, seperti Liga Demokrasi, Rotary, Divine Life Society, dan Organisasi Baha’i, karena menjadi resmi dan sah untuk kembali eksis di Indonesia. Tak heran jika pernah berhembus isu kalau Gus Dur termasuk salah satu kaki tangan Zionis di Indonesia. Apalagi karena dia juga diketahui dekat dengan Israel.
Dalam Film G-30 S/PKI yang dibuat pemerintah Orde Baru, juga dalam buku sejarah yang diterbitkan oleh rezim Soeharto tersebut, digambarkan kalau peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan berujung pada terguling Soekarno dari kursi kepresidenan itu, dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun belakangan banyak kalangan yang meragukan versi tersebut karena apa yang dipaparkan Orde Baru dalam film dan buku sejarah, terlalu banyak yang janggal dan aneh, seolah ada missing link dalam paparan tersebut.
Pater-BeekDalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M. Sembodo meyakini, jika pemahaman tragedi yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 itu hanya dikaitkan dengan Soeharto, PKI, Angkatan Darat, dan CIA, persoalannya memang menjadi buram dan bak cerita misteri. Namun jika juga dikaitkan dengan seorang pastor dari Amsterdam yang akrab disapa Pater Beek, maka masalahnya menjadi terang benderang.
Peristiwa G-30S/PKI, menurut Sembodo dalam buku tersebut, bukan sekedar tragedi politik semata, namun ada tujuan lain di baliknya. Dan anak bangsa yang terlibat di dalam tragedi itu hanyalah pion-pion yang dimanfaatkan dan dikorbankan demi tercapainya tujuan tersebut, yakni melanggengkan penjajahan atas Indonesia agar kekayaan sumber daya alamnya dapat dikuras, dan demi penyebaran agama Katolik. Lantas siapakah Pater Beek?
Beek lahir di Amsterdam, Belanda, pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534. Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dikuasai oleh negaranya, ikut menarik minat Beek remaja untuk dapat ‘bertualang’ di negara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala Beek berusia 22 tahun. Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan dari misi yang kedua ini jelas, agar masyarakat Pulau Jawa dapat dikuasai dan penjajahan negaranya terhadap Indonesia, dapat dilanggengkan.
Beek bekerja dengan sangat baik karena ia mencatat apa pun yang berhasil ia amati setiap hari dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa. Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu Beek bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya, yakni Islam. Itu sebabnya kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini. Contohnya Pangeran Diponegoro. Beek bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat dikristenkan dengan lebih mudah.
Selesai melaksanakan tugas, Beek kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengkristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.
Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemasonry atau Vrijmetselarij.
Anda mungkin meragukan hal ini, karena menurut Anda, bagaimana mungkin seseorang menjadi agen dua organisasi sekaligus? Kalau begitu, mari kita mundur jauh ke belakang, ke abad 13.
Pada abad 13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel.
Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.
Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.
Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.
Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.
Dari sejarah ini jelas bahwa sejak kecil, Beek telah hidup bersama orang-orang Yahudi, dan kehidupan sosialnya bersinggungan dengan mereka. Apalagi karena seperti telah disinggung di bagian awal tulisan ini, lambang VOC diduga merupakan kamuflase dari lambang Bintang David, lambang kaum Yahudi dengan organisasi Freemasonry-nya yang di Belanda bernama Vrijmetselarij.
jesuitNamun demikian, menurut Sembodo dalam bukunya, Freemason sendiri baru mengenal sosok Beek setelah diperkenalkan oleh para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang telah menjadi anggota organisasi itu. Sejak sosok Beek diperkenalkan, minatnya untuk dapat kembali ke Indonesia dan menyebarkan agama Kristen di Bumi Nusantara, telah menarik perhatian para petinggi Freemasonry. Apalagi karena para Mason yang menganut Kaballah, tidak menyukai Islam, meski mereka juga tidak menyukai Kristen. Maka, di sinilah titik temu antara Freemason dengan Beek, sehingga Beek menjadi bagian dari organisasi itu.
Sembodo menyebut, Freemason “memanfaatkan” Beek karena seperti halnya Belanda, mereka juga ingin tetap eksis di Indonesia demi meraup kekayaan hasil bumi rakyat Indonesia. Apalagi karena ketika Jepang berkuasa di Indonesia, mereka terpaksa lari terbirit-birit karena pemerintah Negara Matahari Terbit itu tidak menyukai mereka.
Lantas, mengapa Beek direkrut CIA? Jawabannya mudah.
Amerika Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda sebagai penjajah negara ini.
Setahun sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya AS yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam AS dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.
Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.
george-aditjondroFakta bahwa Beek adalah agen CIA antara lain diungkap Dr. George J. Aditjondro, penulis yang juga mantan anak buah Beek, dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal antikomunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang Kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.
Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’.
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengkatolikkan di Indonesia.
Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Siapa sajakah pion-pion ini?
kartosuwiryo1Pada era 1960-an, Angkatan Darat (AD) merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat antikomunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.
Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2014 ini.
KaharmuzakkarKerja sama TNI AD dengan CIA dijalin pada 1950-an, saat Bung Hatta menjadi perdana menteri. Salah satu realisasi kerja sama ini adalah pengiriman 17 orang pilihan di lingkungan TNI AD untuk menjalani latihan di Saipan Training Station (Pusat Pelatihan Saipan) di Pulau Mariana yang berjarak 82 kilometer sebelah barat daya Manila, Philipina. Menurut Ken Comboy dalam buku berjudul ‘Intel: Dunia Intelijen Indonesia’, Saipan Training Station merupakan pusat pelatihan para agen mata-mata dan pasukan khusus yang sepaham dengan Amerika. Setelah 17 orang dari TNI AD dikirim ke sana, selanjutnya ada lagi yang dikirim, namun dalam jumlah yang berbeda-beda.
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?
Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan para perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia dengan mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan pribadi yang powerfull dan mudah bergaul. Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para lawan bicaranya. Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah terbidik, yakni Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Mengapa mereka? (bersambung …)

Tidak ada komentar: