Oleh: Abu Ya'la Babussalam,Lc
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasak-kusuk koalisi dan capres ini dan itu. Namun tahukah Anda jika semua itu, sesungguhnya sudah ditentukan jauh hari di atas meja para pimpinan imperialis dunia di mana Rotschild dan Rockefeller menjadi anggotanya. Mau bukti?
Apa
kabar Indonesia? Hari-hari ini kasak-kusuk partai politik menjelang
pemilihan presiden menjadi headline berbagai media massa di negeri ini.
Ada yang menjagokan si A, ada pula yang menjagokan si B. Semuanya
beralasan jika jagoannya masing-masing mampu membawa bangsa ini ke arah
yang lebih baik. Seolah-olah negeri bernama Indonesia ini masih sebagai
sehelai kertas putih yang belum ditulisi. Seolah-olah negeri bernama
Indonesia ini sekarang masih berwujud jabang bayi yang sama sekali belum
menangggung beban dan dosa.
Sayangnya,
Indonesia di hari ini tidaklah seperti itu. Indonesia di hari ini
merupakan suatu negeri paling korup di dunia dengan utang luar negeri
mencapai lebih dari 3.000 triliun rupiah(!). Angka ini bertambah setiap
harinya.
Indonesia
di hari ini bukan lagi negeri yang kaya raya, karena semua kekayaan
negeri ini yang sangat luar biasa telah dikuasai oleh korporatokrasi
asing, dimana para elit dunia seperti klan Rotschild dan Rockefeller
berada di belakangnya.
Indonesia di hari ini miskin. Hanya para pemimpin dan pejabatnya yang kaya raya, sedangkan rakyatnya melarat.
Indonesia
di hari ini adalah seorang gadis yang dahulunya sangat cantik rupawan,
namun telah diperkosa dengan buas selama puluhan tahun tanpa henti.
Indonesia di hari ini adalah suatu negeri paria, dimana bangsanya menjadi kuli dan orang-orang asing menjadi tuannya.
Tidak
ada satu pun manusia di Indonesia yang sanggup dan mampu mengeluarkan
negeri ini dari lubang kutukan yang sangat parah seperti ini. Tidak
Jokowi, tidak Prabowo, tidak Aburizal Bakrie. Tidak siapa pun.
Banyak
kalangan yakin seyakin-yakinnya, hanya perang yang mampu mengubah
negeri ini. Entah menjadi lebih baik atau sekalian hancur binasa.
Mengapa
Indonesia yang dahulu sangat menggiurkan, bahkan dijuluki sebagai
zamrud khatulistiwa, sekeping tanah surga yang dititipkan Tuhan di bumi,
dan sebutan membanggakan lainnya, sekarang telah berubah menjadi suatu
negeri yang teramat sangat menyedihkan?
Sejarah
telah mencatatnya dengan tinta suram. Di tanah ini, iblis dan setan
telah memenangkan pertempurannya melawan tentara kebajikan. Walau
mungkin untuk sementara.
Indonesia, dulu dan kini
"Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari tujuhbelas
ribu pulau yang tersebar mulai dari Asia Tenggara hingga Australia.
Tigaratus etnis di sana menggunakan lebih dari duaratus limapuluh
bahasa. Populasi Muslimnya terbesar jika dibandingkan negara lainnya..."
Kalimat
di atas bukan keluar dari seorang Indonesia atau Indonesianis. Bukan
pula hapalan anak sekolah dasar yang dicekoki gurunya di dalam kelas.
Tapi berasal dari kesaksian seorang bandit ekonomi bernama John Perkins
di dalam buku keduanya "The Secret History of The American Empire:
Economic Hit Men, Jakals, and The Truth About Global Corruption" (2007) .
Jika
kita mencari pandangan orang tentang Indonesia, maka ada ribuan bahkan
jutaan pendapat tentang negeri ini. Semuanya mengatakan jika Indonesia
negeri yang memiliki segalanya. Alamnya indah dan kaya raya, iklimnya
sangat bersahabat, tanahnya sangat subur, penduduknya ramah tamah, dan
berbagai keunggulan lainnya. Bahkan Arysio Santos Dos Nunes, profesor
fisika nuklir asal Brasil, setelah meneliti tentang legenda Benua
Atlantis selama hampir tigapuluh tahun menulis di dalam bukunya jika
Indonesia ribuan tahun silam adalah pusat dari benua Atlantis.
Nusantara,
nama lain dari Indonesia, sejak ribuan tahun sebelum masehi telah
dikenal dunia. Dalam kitab Perjanjian Lama (Surat Raja-Raja I, 9: 26-8
dan 10: 10-3) dikisahkan jika Raja (Nabi) Sulaiman membangun banyak
kapal di Ezion-Jeber, dekat Elot di tepi pantai Laut Kolzom, di negeri
Edom. Sulaiman mengirim sebuah ekspedisi ke Ofir bersama dengan awak
kapal Abu Hiram, kepala arsitek pembangunan Haikal Sulaiman. Ekspedisi
itu pulang dari Ofir membawa membawa 420 talenta emas (1 talenta Attica
setara dengan 26 pon, talenta attica besar sama dengan 28⅟₄ pon, dan 1
talenta Mesir/Corinthian setara 43⅟₂ pon ). Emas itu langsung diserahkan
kepada Sulaiman. Bukan hanya emas, dari Ofir, Abu Hiram—dalam literatur
Kabbalah sering disebut Hiram Abif—juga membawa banyak batu mulia dan
kayu cendana. Di tahun 945 SM, Raja Sulaiman kembali mengirim ekspedisi
untuk mencari emas di Ofir.
Dimanakah
Ofir? Ofir merupakan nama sebuah pegunungan yang terletak di selatan
Tapanuli dekat dengan Pasaman. Puncak pegunungannya dinamakan Talaman
dengan ketinggian sekira 2.190 m, dan puncak lainnya bernama Nilam. Di
timur Ophir terdapat Gunung Amas yang sampai sekarang dikenal sarat
dengan timbal (Pb), besi (Fe), Belerang (S), dan nikel (Ni).
Selain
Ofir, tahun 2.500 Sebelum Masehi, Barus—sebuah perkampungan kecil di
pesisir barat Sumatera Tengah—juga telah dikenal hingga ke Mesir.
Kerajaan Mesir Kuno melakukan kontak dagang dengan Barus untuk membeli
Kapur Wangi (Kapur Barus) sebagai bahan dasar proses pembalseman mumi
para raja (Firaun).
Masyarakat
dunia sejak ribuan tahun silam telah mengenal Sumatera sebagai Tanah
Emas. Sebab itu, pulau ini menyandang nama Swarnadwipa, atau Pulau emas.
Banyak sebutan-sebutan lain, semisal dari Yunani, Cina, dan sebagainya
yang artinya juga sebagai 'Tanah Emas'. Itu baru dari Sumatera, belum
lagi Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan lainnya yang
masing-masing menyandang nama yang hebat-hebat karena kekayaannya.
Kemashyuran
kekayaan Nusantara telah dikenal dunia sejak ribuan tahun sebelum
masehi. Bangsa-bangsa Eropa pun berdatangan, seperti Spanyol, Portugis,
Belanda, Inggris, dan lainnya. Niat bangsa-bangsa ini ke Nusantara tidak
hanya berdagang namun juga untuk menguasainya sekaligus menyebarkan
ajaran salib di tanah yang dianggap kafir ini. Kita mengenalnya dengan
slogan Tiga G: Gold, Glory, dan Gospel.
Dimulailah
masa-masa penuh kegelapan di Nusantara di mana Belanda dianggap sebagai
bangsa yang paling lama mampu menjajah tanah yang kaya ini. Sejarah
telah mencatat bagaimana akhirnya secara politis bangsa Indonesia mampu
memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945. Secara aklamasi Soekarno
diangkat menjadi presiden. Dan seorang Soekarno yang lebih dari 25
tahun masa hidupnya dijalani di belakang terali besi kaum penjajah
sungguh-sungguh mengetahui jahatnya sistem kolonialisme dan
imperialisme.
Soekarno
menggariskan arah politik anti neo-kolonialisme dan anti
neo-imperialisme, dengan bekerja keras agar Indonesia bisa mandiri.
Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas, dalam kata pengantar buku
John Perkins menuliskan, "Sejak 1951 Soekarno membekukan konsesi bagi
MNC—Multi National Corporate—melalui UU No. 44/1960 yang berbunyi,
"Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau
perusahaan negara." ...Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena
laba menurun. Tiga besar (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi
ulang, namun Soekarno mengancam akan menjual seluruh konsesi ke
negara-negara lain jika mereka menolak UU N0.44/1960 tersebut. Pada
Maret 1963 Soekarno mengatakan, "Aku berikan Anda waktu beberapa hari
untuk berpikir dan aku akan batalkan semua konsesi jika Anda tidak mau
memenuhi tuntutanku."
Soekarno
pada prinsipnya memang menentang korporatokrasi, sangat berbeda dengan
Soeharto yang malah menjadi pelayannya yang teramat sangat baik. Tak
heran jika utang luar negeri di masa Soekarno hanya 2,5 miliar dollar
AS, sedangkan di masa Soeharto mencapai 100 miliar dollar AS (!).
Sayangnya, sampai detik ini tak ada satu pun pemimpin Indonesia yang
seperti Soekarno, menolak hegemoni korporatokrasi asing terhadap bangsa
dan negara ini. Bahkan ketika anak biologis Soekarno, Megawati
Soekarnoputeri menjadi presiden pun, dia dalam fakta politik-ekonominya
lebih condong ke kiblatnya Soeharto ketimbang Soekarno. Kasus penjualan
gas alam Tangguh yang irasional ke Cina merupakan bukti paling jelas
tentang hal ini.
Disebabkan
Soekarno tidak mau tunduk pada kepentingan Nekolim inilah, akhirnya CIA
menjatuhkannya dan menaikkan Jenderal Soeharto menjadi presiden
menggantikan Soekarno. Kejatuhan Soekarno dirayakan secara besar-besaran
di Washington. Presiden Richard Nixon menyebutnya sebagai, "Upeti besar
dari Asia Tenggara..."
"Bos
Perkins, Charlie Illingworth mengingatkan bahwa Presiden AS Richard
Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Di
mata Nixon, Indonesia ibarat real-estate terbesar di dunia yang tak
boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina...," demikian tulis Budiarto
Shambazy.
Bagi
yang ingin mengetahui sedikit tentang perbedaan arah politik-ekonomi
Soekarno dengan Soeharto, dan intervensi CIA serta korporatokrasi AS di
Indonesia, silakan melihat film dokumenter "New Rulers of the World"
dari John Pilger di Youtube yang terdiri dari enam episode. Film yang
aslinya berbahasa Inggris itu sudah tersedia dengan terjemahan bahasa
Indonesianya.
Begitu
Soekarno jatuh, pada bulan November 1967, Jenderal Soeharto mengirim
satu tim ekonomi yang disebut banyak kalangan sebagai Mafia Berkeley,
menghadap para CEO MNC seperti Rockefeller di Swiss, dan mengggadaikan
hampir seluruh kekayaan alam Indonesia.
Pertemuan Mafia Berkeley-Rockefeller di Swiss
Di
Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger
berjudul "New Rulers of the World", Mafia Berkeley ini atas restu
Soeharto menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan
Rockefeller cs. Mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan
memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di
Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon,
dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967
pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi
tersebut.
Disertasi
Doktoral Brad Sampson (Northwestern University-AS) menelusuri fakta
sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat
sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam New
Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis: "Dalam bulan November
1967, menyusul tertangkapnya 'hadiah terbesar' (istilah pemerintah AS
untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto),
maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi.
The
Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss,
yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan
Indonesia. Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling
berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua
raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International
Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development
Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya. Di seberang meja, duduk
orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha
Yahudi lainnya disebut sebagai 'ekonom-ekonom Indonesia yang korup'."
"Di
Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan 'The Berkeley Mafia'
karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah
Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley.
Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang
diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang
dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan:
tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang
melimpah, dan pasar yang besar."
Masih
dalam kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah
dibagi sektor demi sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini
dilakukan dengan cara yang amat spektakuler."
"Mereka
membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di
kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di
kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan
sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima
oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin
korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya,
mengatakan, 'Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini,
dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk
berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka
(dan sangat merugikan bangsa Indonesia). Saya tidak pernah mendengar
situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil
dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang
persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."
Pertemuan
antara Mafia Berkeley-nya Soeharto dengan para CEO Yahudi di Jenewa,
Swiss, Nopember 1967, menghasilkan keputusan yang di luar akal sehat.
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger,
pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris), dengan pembagian laba
untuk asing 99% dan Indonesia cuma 1%. Sebuah konsorsium Eropa
mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian
terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang,
dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan
Papua Barat.
Pada
12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2.
Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang
terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof
Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr.
Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro, yang seluruhnya
berorientasi kapitalistis.
Orde Baru, Ciptaan Elit Yahudi
"Indonesia
Baru" yang pro-kapitalisme telah dirancang elit dunia sejak era
1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul "Mafia
Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari
Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia" (Ramparts, 1970)
memaparkan, AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan Indonesia
setelah menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok
intelektual yang berpikiran Barat.
Dan
kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap melayani
kepentingan AS. Yang pertama didalangi berbagai yayasan beasiswa seperti
Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas
ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan juga MIT. Sedang
tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy
Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira
tinggi lewat salah seorang yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni
Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga
dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan
AS, mendekati militer. Soeharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.
Di
Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi kesempatan mengajar
para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang
pro-AS. Paska tragedi 1965, kelompok ini mulai membangun 'Indonesia
Baru'. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke
Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini.
Jenderal
Soeharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan
Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, "Pada 12 April
1967, Sultan mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni
garis besar program ekonomi rezim baru itu yang menegaskan mereka akan
membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut
ditulis oleh Widjojo dan Sadli."
Ransom
melanjutkan, "Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja
di gariskan Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo
kebingungan menyusun program stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David
Cole—ekonom Harvard yang baru saja membuat regulasi perbankan di Korea
Selatan—untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor,
tapi masih memerlukan "bimbingan". Menurut seorang pegawai Kedubes AS,
"Sadli benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu
regulasi Penanaman Modal Asing. Dia harus mendapatkan banyak "Bimbingan"
dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini
merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan
(Repelita) Soeharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS,
yang masih secara langsung dibimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan
kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Mantan
Economic Hitmen, John Perkins, menyatakan jika Repelita sesungguhnya
hanyalah rencana AS untuk bisa merampok, menjarah secara besar-besaran,
dan menguasai Indonesia. Rencana ini disusun dalam tempo duapuluhlima
tahun yang dibagi-bagi menjadi lima tahunan. "Keberadaan kita (Bandit
Ekonomi, penulis) di sini tak lain untuk menyelamatkan negara ini dari
cengkeraman komunisme (dalih, penulis). ....Kita tahu Amerika sangat
tergantung pada minyak Indonesia. Indonesia bisa menjadi sekutu yang
andal dalam hal ini (bekerjasama dengan rezim Jenderal Soeharto,
penulis). Jadi, sembari mengembangkan rencana pokok, lakukan apa saja
semampu kalian untuk memastikan industri minyak dan segala industri lain
pendukungnya—pelabuhan, jalur pipa, perusahaan konstruksi—tetap
memperoleh aliran listrik sebanyak yang kita butuhkan selama rencana
duapuluh lima tahun ini berjalan, " demikian tulis John Perkins mengutip
pernyataan bos-nya, Charlie Illingworth.
Sosok
Jenderal Soeharto di mata AS, disamakan dengan sosok Shah Iran, Boneka
AS. "Kami berharap Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah
Iran. Kedua orang itu serupa: Tamak, angkuh, dan bengis..." (John
Perkins)
Tim
ekonomi "Indonesia Baru" ini bekerja dengan arahan langsung dari Tim
Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang
dibiayai Ford Foundation. "Kita bekerja di belakang layar, tidak secara
terang-terangan," aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS memback-up
penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi
Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965, bisa
sedikit demi sedikit dipulihkan. Mereka inilah yang berada di belakang
Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan
penanaman modal asing dan 'swasembada' hasil pertanian. Dalam banyak
kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di
daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini. Mereka
bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah
dan pejabat administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah
yang bekerja untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok
pusat, dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga
menindas para petani yang bekerja di lapangan. Rakyat kecil tetap dalam
penderitaannya dan tumbuh satu kelas baru di negeri ini yaitu kelas elit
yang kaya raya berkat melayani Washington.
Pada
April 1966 Soeharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB.
Setelah itu, Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali
menggandeng IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan
kalimatnya yang terkenal: "Go to hell with your aid!"
Untuk
menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang
Repelita. Tiga perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari
utang luar negeri. "Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir
periode. Pada 1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966
sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa." (M.C. Ricklefs;
Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam
hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini
untuk memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin
bertambah miskin, sedang para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar
hidup sederhana, namun kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah.
Bulan madu antara Soeharto dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya
dengan cepat pudar.
Francis
Raillon menulis, "Sepanjang 1972-1973 di sekitar Soeharto terjadi
rebutan pengaruh antara 'kelompok Amerika' melawan 'kelompok Jepang'.
Yang pertama terdiri dari para menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal,
Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin
Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani."
(Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974;
Des 1985).
Soeharto
tipe pemimpin yang sangat lihai. Banyak yang mengatakan sosoknya licin
bagai belut yang berenang di dalam genangan oli. Dia memanfaatkan semua
yang berada di sekelilingnya guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika
menumbangkan Bung Karno, Soeharto menggalang kekuatan militer, teknokrat
kapitalistis, dan ormas keagamaan—dalam hal ini kebanyakan sayap Islam,
dengan alibi untuk menghancurkan komunisme. Namun setelah berkuasa,
umat Islam ditinggalkan. Soeharto malah merangkul kekuatan salibis faksi
Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo menjadi sesepuhnya,
dan di era 1980-an muncul tokoh sentral Islamophobia, murid Ali
Moertopo, bernama Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
Nations
and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini
dalam sekejap dihancurkan Soeharto, dan digantikan dengan Exploitation
de L'homee par L'homee, eksploitasi yang dilakukan elit negara terhadap
rakyat kecil. Dan ironisnya, eksploitasi ini terus dilakukan oleh para
elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini.
Dalam
penegakan Hak Asasi manusia (HAM), rezim Orde Baru di tahun 1980-an
sangat dikenal di luar negeri sebagai rezim fasis-militeristis. M.C.
Ricklefs, sejarawan Australia yang banyak meneliti tentang sejarah
politik di Indonesia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Soeharto
jauh lebih buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda.
"Orde
Baru lebih banyak melakukan hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan
Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana
politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan
militer di tangan segelintir elit dalam pemerintahan Soeharto juga lebih
besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda," demikian Ricklefs.
Selain
tiranik, Soeharto juga telah menyuburkan sifat korup di dalam elit
pemerintahan. Tidak main-main, salah satu tonggak "kegilaan" korupsinya
sampai membangkrutkan salah satu firma konstruksi dan konsultan paling
terhormat dan terbesar di AS, yakni Stone and Webster Engineering
Company (SWEC). Salah seorang anggota keluarga Soeharto meminta suap
dengan terang-terangan kepada SWEC sebesar 150 juta dollar AS. Kasus ini
ditulis oleh Steve Bailey di dalam Boston Globe edisi 15 Maret 2006
berjudul "The Bribe Memo dan Collapse of Stone and Webster" (hal.E1).
Kasus-kasus
korup di era Orde Baru, dan kolusinya dengan dunia usaha, secara apik
dipaparkan Yoshihara Kunio dalam "Kapitalisme Semu Asia Tenggara"
(LP3ES, 1990). Jika dianalogikan, Indonesia di era kekuasaan Orde Baru
merupakan sebuah peti harta karun, yang dikuasai sepenuhnya oleh elit
global (Washington), dan hanya sebagian kecil dari isi harta karun itu
yang dibagikan kepada para penjaganya sebagai upah, yakni Soeharto dan
kelompoknya. Sedangkan pemilik aslinya yakni rakyat Indonesia, hanya
disuruh menjadi penonton pameran kekayaan dan 'kemajuan pembangunan'
yang terjadi di sekitarnya. Inilah Indonesia di era Orde Baru.
Bila
kita melihat apa yang terjadi di belakang kudeta terhadap Presiden
Soekarno, naiknya Jenderal Soeharto, dan apa yang dilakukannya setelah
berkuasa, maka akan terlihat sekali jika ada tangan-tangan yang sangat
berpengaruh, didukung modal yang besar, jaringan global yang sangat
kuat, yang bermain di sana. Secara garis besar bisa dirinci sebagai
berikut :
Pertama.
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai Nusantara, namanya sudah
termasyhur sejak lama sebagai suatu kawasan yang sangat kaya raya.
Nusantara sejak zaman purba sudah dikenal sebagai tanah yang menyimpan
cadangan emas permata dalam jumlah yang teramat sangat banyak. Bukan
hanya emas permata, namun belakangan juga diketahui menyimpan minyak
bumi, timah, bauksit, gas alam, dan sebagainya. Tentu saja, hal ini
membuat bangsa-bangsa lain ingin menguasai kawasan yang dianggap sebagai
"Sekeping Tanah Surga yang ada di Bumi".
Kedua.
Dalam sejarahnya, elit kerajaan Mesir Kuno sudah mengetahui keberadaan
Nusantara dan bahkan telah mengadakan kontak dagang dengan Barus. Tidak
menutup kemungkinan jika mereka juga melakukan perdagangan emas permata.
Kontak dagang ini terus berlanjut hingga kerajaan Mesir Kuno runtuh
berganti dengan kerajaan-kerajaan lain. Di zaman Raja Sulaiman, raja
yang juga Nabiyullah ini, tatkala membangun istananya yang teramat
sangat megah, memerintahkan kepala arsiteknya bernama Abu Hiram pergi ke
Nusantara untuk mengambil emas permata yang akan digunakan untuk
mempercantik istananya.
Kita
mengetahui jika pada kedua tonggak kerajaan ini—Mesir Kuno dan sisa
Kerajaan paska Sulaiman—bercokol satu kekuatan gelap di mana setan dan
iblis menjadi pemimpinnya, serta sihir menjadi ilmunya. Kita
menamakannya sekarang dengan sebutan Kabbalah.
Di
zaman mesir Kuno, para tukang sihir yang berada di belakang kekuasaan
para Fir'aun merupakan para pendeta tertinggi Kabbalah. Mereka inilah
yang bertarung melawan Nabi Musa a.s. Penyihir Kabbalis merupakan salah
satu tonggak dari tiga tonggak penopang Fir'aun.
Di
zaman kerajaan Nabi Sulaiman a.s., para setan dan jin di depan Sulaiman
a.s. menunjukkan sikap tunduk, namun di dalam hati mereka selalu penuh
dengan iri, dengki, dan dendam. Sudah menjadi sifat mereka untuk selalu
demikian. Abu Hiram atau Hiram Abiff merupakan pemimpin gerakan
persaudaraan rahasia Kabbalis, sekaligus kepala arsitek Haikal Sulaiman.
Orang inilah yang menjejakkan kakinya ke Swarnadwipa—seperti yang
diperintahkan Sulaiman—untuk mengambil emas permata.
Sebab
itulah, kaum Kabbalis sudah mengetahui sejak zaman purba jika tanah
Nusantara menyimpan kekayaan emas permata dalam jumlah yang sangat
berlimpah. Nusantara telah dijadikan target kaum Kabbalis sejak lama.
Dan sejarah telah memperlihatkan kepada kita jika Nusantara sejak dulu
hingga kini memang menjadi target mereka.
Sejarah Kaum Kabbalis dan Nusantara
Kitab
suci Al-Qur'an dan kitab-kitab suci langit lainnya, semuanya telah
mengisahkan fragmen penciptaan manusia dan mengapa Allah Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan agar manusia turun dari surga ke bumi. Turunnya
manusia ke bumi diikuti oleh iblis yang mendapatkan izin dari Allah
untuk menggoda manusia dari jalan ketauhidan sampai dengan akhir zaman.
Sejarah
juga telah memperlihatkan kepada kita bagaimana kebaikan dan kejahatan
bertarung sepanjang kisah dunia. Para Nabi dan Rasul yang diutus Allah
Subhanahu wa Ta'ala untuk menuntun manusia agar bisa hidup di jalan
tauhid, selalu saja mendapat tentangan dan perlawanan dari barisannya
Iblis yang sangat bernafsu agar manusia keluar dari jalan yang lurus
itu.
Tipikal
barisan iblis sepanjang sejarah selalu saja mengambil posisi berdekatan
dengan lingkaran dalam kekuasaan. Iblis selalu berada di lingkaran elit
penguasa. Tidak pernah sekali pun barisan iblis mengambil posisi di
luar kekuasaan. Ini fakta dari zaman purba hingga sekarang. Dan
kebalikannya, para Nabi dan Rasul nyaris selalu berada di sisi umat
kebanyakan melawan penguasa lalim.
Dalam
aksinya, kelompok iblis senantiasa menggunakan sihir sebagai
senjatanya. Dan berbagai kumpulan sihir yang ada, disatukan ke dalam apa
yang disebut sebagai Kabbalah, dengan sihir Babylonia sebagai induknya.
Sebab itulah, barisan iblis dikemudian hari juga dikenal sebagai kaum
Kabbalah.
Bagi
yang ingin mengetahui sejarah mengenai asal muasal Kaum Kabbalah dan
kaitannya dengan dunia kekinian, silakan membaca Eramuslim Digest edisi
"Genesis of Zionism". Di dalamnya, kita akan mendapatkan gambaran yang
sangat jelas tentang hal ini.
Nusantara
telah lama dikenal oleh dunia sebagai wilayah yang teramat kaya. Dan
bukan kebetulan jika kaum Kabbalis sudah mengadakan kontak dengan
wilayah ini, baik di zaman Fir'aun maupun Raja Sulaiman. Wilayah yang
oleh Profesor Arysio Santos des Nunes dianggap sebagai pewaris peradaban
Atlantis ini menjadi primadona bangsa-bangsa imperalis seperti Spanyol,
Portugis, Inggris, Belanda, dan tentu saja kemudian Amerika Serikat.
Sejarah
sudah memaparkan dengan gamblang betapa Nusantara yang kemudian namanya
diubah menjadi Indonesia mengalami berbagai gejolak ekonomi maupun
politis. Bung Karno yang sangat anti terhadap kaum imperialis
ditumbangkan pada tahun 1965 dan diganti oleh 'boneka globalis' bernama
Jenderal Soeharto. Kekayaan Indonesia pun dihisap habis-habisan oleh
asing, sedangkan Jenderal Soeharto dan kroninya mendapat 'recehan'nya
sehingga mereka, keluarga, dan golongannya pun tumbuh menjadi elit baru
di Indonesia.
Dan
seperti nasib 'boneka-boneka' globalis lainnya, ketika sudah tidak lagi
berguna maka dicampakkan, demikian yang dialami Soeharto. Tahun
1997-1998 kaum Globalis melalui kaki tangannya mengguncang pasar moneter
Asia Tenggara. Indonesia bergejolak. Dan akhirnya Soeharto dipaksa
menyerahkan kekuasaannya. Habibie naik, berkuasa sebentar kemudian
diganti oleh Abdurahman Wahid, lalu Megawati, lalu Susilo Bambang
Yudhoyono.
Yang
tidak dipaparkan dengan jujur oleh sejarah adalah apa yang terjadi di
belakang setiap pergantian kekuasaan. Tumbangnya Soekarno dan naiknya
Jenderal Soeharto, lalu jatuhnya Soeharto setelah berkuasa selama
tigapuluh tahun lebih, bisa dijadikan cermin yang baik apa yang
sesungguhnya terjadi. Rakyat selama ini dibohongi atas nama demokrasi
dan isme-isme lainnya.
Naiknya Soeharto dan Sistem yang Korup
Tahapan
kudeta kaum globalis terhadap Presiden Soekarno sekarang sudah menjadi
rahasia umum. Amerika sebagai kendaraan besar kaum globalis sudah
berkali-kali mencoba membunuh sosok Bung Karno namun tidak berhasil,
bahkan salah seorang agen CIA bernama Allan Pope berhasil ditangkap
hidup-hidup.
Akhirnya
kaum globalis merancang suatu kudeta sistematis yang telah dimulai pada
tahun 1950-an dan puncaknya terjadi pada dini hari, 1 Oktober 1965,
yang ujung-ujungnya berhasil menumbangkan Soekarno dari kursi
kekuasaannya.
Presiden
AS Richard Nixon meluapkan kegembiraan atas jatuhnya Soekarno dengan
menyebutnya sebagai "Terbukanya peti harta karun terbesar dari Asia".
Jatuhnya
Soekarno juga dirayakan besar-besaran dalam pertemuan tahunan (rahasia)
kelompok Bilderberger tahun 1968, tanggal 26-28 April di Mont
Tremblant-Canada. Dalam pertemuan tersebut, Rockefeller menyebutnya
sebagai "Hadiah terbesar bagi The New World Order".
Setiap
ada 'boneka' baru yang naik menjadi presiden, Amerika selalu mengutus
orangnya untuk memberi petunjuk apa saja yang harus dilakukan boneka
tersebut, sekaligus memperingatkannya jika boneka tersebut tidak mau
patuh. John Perkins, mantan Bandit-Ekonomi, menulis hal ini dalam
bukunya:
"Aku
memasuki kantor presiden dua hari setelah dia terpilih dan memberinya
ucapan selamat. Ia duduk di belakang meja besarnya sambil tersenyum
lebar padaku seperti kucing Cheshire...
Aku
merogoh saku dengan tangan kiri dan berkata: "Tuan Presiden, ada
beberapa ratus juta dollar dalam sakuku untuk Anda dan keluarga jika
Anda mengikuti permainan.., Anda tahu, berbaik-baiklah dengan
teman-temanku yang menjalankan perusahaan minyak, perlakukan Paman Sam
dengan baik."
Lalu
aku melangkah lebih dekat, merogoh tangan kananku ke saku yang lain,
membungkuk di depan wajahnya, dan berbisik, "Di sini, ada pistol dan
peluru dengan nama Anda—buat berjaga-jaga siapa tahu Anda ingin memenuhi
janji kampanye Anda..."
Aku
melangkah mundur, duduk, dan membacakan secarik daftar kecil untuknya,
isinya nama presiden-presiden yang dibunuh atau digulingkan karena
menentang Paman Sam: Dari Diem hingga Noriega—Anda pasti tahu, tindakan
rutin.
Dia memahami pesanku dengan sangat baik!"
Patut
digaris-bawahi: Setiap ada presiden dari 'negara jajahan' atau 'client'
dari Washington, maka setiap itu pula Washington akan mengirim langsung
utusannya kepada penguasa baru dan mengatakan hal-hal tersebut di atas.
Tidak terkecuali di Indonesia, dimana sekarang ini pemerintahnya sudah
terjerat batang lehernya dengan utang luar negeri kepada kaum globalis
sebesar 3.000 triliun lebih! Angka ini terus melambung setiap harinya.
Jenderal
Soeharto merupakan pelayan yang sangat baik bagi kekuatan globalis yang
hendak menjajah kembali Indonesia. Ini dikatakan dengan tegas oleh John
Perkins. Selama tigapuluh tahun lebih masa kekuasaannya, Indonesia
dirampok habis-habisan kekayaannya. Negeri yang sangat kaya ini dililit
utang dengan jumlah luar biasa besarnya. Dan celakanya, utang-utang
tersebut tidak sungguh-sungguh digunakan untuk membangun negeri, namun
sebagiannya masuk ke dalam pundi-pundi Soeharto, keluarga, dan
kelompoknya.
Ketika
Soeharto sudah dianggap tidak berguna lagi. Ini terjadi pada akhir
tahun 1980-an, Washington segera melancarkan operasi penggulingannya
lewat krisis moneter. Soeharto terguling, namun sayangnya sistem korup
yang diciptakannya ternyata masih eksis.
Sejumlah
tokoh Indonesia yang naik menggantikannya tidak mampu membasmi sistem
korup yang sudah mengurat-akar sepanjang tigapuluh tahun pemerintahan
Orde Baru. Bahkan korupsi makin menjadi-jadi. Ibarat kata, jika di masa
Soeharto korupsi dilakukan di bawah meja, maka sekarang ini mejanya
ikut-ikutan dikorupsi!
Kisah Cakil, Ilusi Demokrasi
Turunnya
Soeharto disambut dengan penuh sukacita oleh hampir seluruh anak bangsa
ini. Era keterbukaan dimulai. Demokrasi menjadi istilah ajaib yang
mampu menyihir banyak kalangan. Partai politik pun bermunculan bagai
jamur di musim penghujan. Bangsa Indonesia pun disibukkan setiap tahun
dengan berbagai macam pemilihan umum, dari pemilihan tingkat kepala
daerah (Pilkada) hingga pemilihan legislatif dan presiden. Bahkan di
banyak tempat, pemilihan Ketua RT/RW juga dilakukan mengikut cara
kampanye pemilihan umum.
Tampak
dari luar, cara seperti ini dianggap sangat demokratis. Namun mereka
lupa jika cara pemilihan seperti ini terlalu banyak menguras energi dari
rakyat secara keseluruhan. Energi bangsa tersedot hanya untuk mengurusi
pemilihan ini dan itu, jalan-jalan kota hingga kampung dipenuhi sampah
visual berupa spanduk dan poster calon-calon kepala desa, legislatif,
hingga presiden dan wakilnya. Kota metropolitan seperti Jakarta pun tak
ubahnya kota pemulung yang dipenuhi pamflet dan spanduk yang bertebaran
di sekujur tubuhnya.
Di
era demokrasi seperti sekarang ini, partai politik merupakan gerbong
utama menuju perubahan. Di atas kertas, yang dikatakan para aktivis
parpol adalah perubahan bangsa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik.
Namun pada kenyataannya, faktanya, yang terjadi hanyalah perubahan pada
tingkat elit parpol. Yang tadinya hanya menghuni rumah kontrakkan,
sekarang sudah punya belasan apartemen, kendaraan mewah, tanah
berhektar-hektar, dan sebagainya. Yang seperti ini banyak.
Di
sisi lain, aktivis parpol kelas bawah, hidupnya tidak pernah berubah.
Mereka terus setia menjadi aktivis parpol dengan harapan hidupnya bisa
ikutan berubah seperti para elit parpolnya. Mereka mengharapkan kenaikan
tingkat dalam strata parpol. Selama mereka belum 'naik kelas', mereka
memamah remah-remah, makanan sisa, dari uang yang bersliweran di sekitar
elitnya. Ini faktanya.
Ada kisah seorang aktivis parpol yang sekarang sudah menjadi elit parpol, sebut saja namanya Cakil.
Sebut
saja pemuda yang sudah memiliki isteri dan satu anak itu Cakil. Saat
gelombang mahasiswa turun ke jalan menuntut Suharto mundur di tahun
1998, dia hanyalah seorang guru les privat di sebuah lembaga bimbingan
belajar di pingggiran Jakarta. Penghasilannya pas-pasan. Walau demikian,
dia masih bersyukur bisa kemana-mana menggunakan motor Honda CB100
butut peninggalan almarhum ayahnya. Isteri Cakil seorang perempuan yang
baik, dia setia dan tidak banyak menuntut. Untuk membantu mencari
nafkah, tiap habis sholat subuh, isterinya sudah membawa beberapa
keranjang kue donat bikinannya untuk dititipkan ke sejumlah warung di
sekitar rumah kontrakkannya. Selain itu, setiap bada asyar, sang isteri
juga mengajar anak-anak kecil mengaji di mushola dekat rumah.
Cakil dan keluarga menempati sebuah
rumah petak kontrakkan yang kondisi atapnya sudah bocor di sana-sini di
sebuah gang sempit di kampung. Namun walau demikian dia tetap berusaha
bersyukur karena setidaknya sudah memiliki tempat naungan, walau belum
milik sendiri.
Ketika Suharto jatuh, rakyat Indonesia
dilanda euforia demokrasi. Teman-teman Cakil mengontaknya dan mengatakan
jika mereka akan mendirikan sebuah partai politik. Cakil menyambut baik
hal itu. Rapat demi rapat pun digelar di berbagai tempat, bahkan sampai
pagi. Cakil sangat giat mengikuti semua rapat yang ada, walau dia hanya
duduk bersila di barisan belakang yang lainnya.
Sebuah partai politik terbentuk. Cakil
diamanahkan jabatan sebagai koordinator wilayah. Tentu saja Cakil
menerimanya dengan sepenuh hati, walau dari jabatannya ini dia sama
sekali tidak diiming-imingi gaji.
Hari berganti bulan, pemilihan umum pun
digelar. Parpol tempat Cakil bernaung disahkan sebagai partai peserta
pemilu. Cakil sangat bersemangat berkampanye. Dari kampanye model
tradisional sampai ke dunia maya. Untunglah, partainya mengusung
jargon-jargon anti korupsi dan hidup bersih. Masyarakat Indonesia saat
itu sangat muak terhadap kasus-kasus KKN era Suharto. Hasil pemilu
menempatkan parpolnya ke dalam posisi yang tidak mengecewakan. Beberapa
teman-temannya yang dijagokan sebagai caleg berhasil mendulang suara
yang tidak sedikit. Cakil ikut bersyukur.
Setelah hasil pemilu legislatif
diumumkan KPU, partainya masuk ke dalam posisi atas. Kini parpol-parpol
sibuk membahas calon presiden yang akan diusung. Orang-orang yang berada
di atas Cakil sangat sibuk rapat ini-itu dan pertemuan ini-itu, tidak
saja dengan anggota satu partai, tapi lintas partai.
Tiba-tiba petinggi partai tempat Cakil
bernaung sepakat mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden
yang diusung partai lain. Hati kecil Cakil bertanya-tanya karena calon
yang didukung itu sebenarnya memiliki track record yang kurang baik.
Tapi elit partai mengatakan bahwa calon itu sudah berubah dan sudah
menjadi manusia yang baik dan amanah. Cakil tunduk dan menuruti
semuanya.
Tak lama kemudian kehidupan para
petinggi partai sudah mulai berubah dengan baik, demikian juga Cakil.
Yang semula mereka hanya menempati rumah kontrakkan atau masih menumpang
di PIM (Pondok Mertua Indah), kini beberapa petinggi partai sudah mampu
membeli sebuah rumah. Tidak tanggung-tanggung, dari rumah kontrakkan
yang biasa saja, mereka sanggup membeli rumah yang termasuk mewah. Bukan
itu saja, mereka juga mampu membeli kendaraan roda empat dan juga
seluruh isi rumah dengan uang yang dimilikinya.
Karena kesetiaannya, jabatan Cakil di
dalam struktur partai naik. Dia kini menjabat posisi yang cukup bagus di
tingkat pusat. Cakil juga kecipratan 'rezeki' yang lumayan. Setiap
bulan kini dia menerima gaji tetap. Bahkan sering kali dia kini diberi
uang dalam amplop atau dalam bentuk cek yang dia tidak pernah bertanya
dari mana dan untuk apa. Petinggi partai hanya bilang jika itu merupakan
berkah demokrasi. Cakil pun menerimanya dengan penuh rasa syukur, walau
dia masih tinggal di rumah petakkannya itu. Cakil yang semula lugu dan
menjalani hidup dengan lurus, sekarang telah berubah menjadi seorang
pemuda yang sibuk kesana-kemari mencari 'proyek' dan 'sikutan'. Itu
dilakukannya bersama-sama dengan petinggi partainya. Modal mereka adalah
perolehan suara yang lumayan banyak dari pemilihnya.
Bagi mereka, suara itu bukan hanya
sekadar amanah, tapi juga modal utama untuk meraih berbagai jabatan
politis seperti anggota legislatif, menteri, dirjen, dan sebagainya .
Jabatan-jabatan politis seperti itu merupakan 'lahan basah' untuk
mendapatkan apa yang mereka namakan berkah demokrasi. Demokrasi hanyalah
alat, itu kata mereka. Ya, alat untuk mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya.
Walau tidak duduk di bangku legislatif
atau menjadi menteri, tetapi Cakil 'dititipkan'partai menjadi salah satu
staf ahli menteri. Walau keahliannya hanyalah mengajar sejumlah mata
pelajaran di tingkat sekolah dasar, namun dia sekarang menjadi staf ahli
seorang menteri yang bidangnya sangat jauh dari keahliannya.
"Tidak apa-apa, nanti kamu bisa belajar di sana," demikian ujar atasannya di partai.
Kehidupan Cakil pun mulai berubah walau
masih sedikit demi sedikit. Dia kini bisa menempati rumah sewa yang
lebih baik, pakaian yang lebih rapi dan necis, serta mencicil sebuah
motor baru.
Datanglah musim Pilkada atau Pemilihan
Kepala Daerah. Kali ini pemilihan seorang bupati. Karena kesetiaannya
kepada partai, Cakil ditawari untuk maju dalam pilkada ini. Awalnya
Cakil menolak secara halus karena dia merasa tidak punya dana yang cukup
untuk kampanye dan segala hal yang berkaitan dengan pilkada yang
jumlahnya miliaran rupiah. Dia kemudian dipanggil secara pribadi oleh
petinggi partai.
"Cakil, kamu maju saja sebagai jagoan
dari partai kita. Soal dana, kita yang menyiapkan. Jika kamu menang,
kamu harus melunasinya...," ujar mereka. Cakil akhirnya setuju.
Cakil akhirnya terpilih menjadi seorang
bupati. Isterinya sangat bersyukur. Dari rumah petak kontrakkan mereka
pindah ke rumah dinas yang luas dan mewah. Dalam waktu singkat mereka
bahkan mampu membeli sebuah rumah mewah di kompleks perumahan bergengsi
lengkap dengan kendaraan roda empat jenis terbaru. Bukan itu saja, Cakil
pun mulai mengambil kursus privat bermain golf.
Banyak teman-teman Cakil yang tidak
aktif berpartai memujinya, namun tak sedikit yang mencurigainya.
"Darimana uang untuk membeli semua itu? Bukankah gaji sebagai bupati
sedikit dan tidak akan bisa membeli semua kemewahan itu?"
Cakil hanya tersenyum dingin. Mereka
tidak tahu jika seorang pejabat di zaman itu sama sekali tidak
mengandalkan gajinya. Seorang pejabat, apalagi kepala daerah walau itu
hanya setingkat kabupaten, memiliki anggaran belanja yang jumlahnya
sangat banyak. Itu bisa dipakai sesuka hatinya, dengan memalsukan
sejumlah dokumen pembelian dan juga pembukuan. Soal auditor? Tenang
saja. Asal uang itu dibagi-bagi ke sejumlah orang yang bersangkutan,
maka amanlah segalanya.
Dan untuk 'melunasi' hutang-hutang
biaya kampanyenya, maka Cakil memberikan jabatan-jabatan 'basah' kepada
sejumlah rekan-rekannya agar mereka bisa juga 'menikmati demokrasi'.
Demi keluarga dan partai, demikian semboyan mereka.
Cakil sudah sangat lihai dalam hal ini.
Namun Cakil hanyalah manusia biasa yang juga memiliki hati nurani. Jauh
di dalam hatinya dia gelisah dengan apa yang selama ini dia lakukan.
Ada perasaan bersalah. Dan untuk menentramkan perasaannya ini, hampir
setiap tahun Cakil memboyong keluarganya untuk umroh ke Tanah Suci. Di
depan Ka'bah, Cakil menangis tersedu-sedu memohon ampunan hingga ratusan
bahkan ribuan kali. Selain rajin sholat wajib, dia juga mengerjakan
sholat-sholat sunnah yang banyak di Tanah Suci ini. Hatinya tenang dan
tentram.
Sepulang dari umroh, Cakil kembali
kepada kesehariannya. Dia kembali kasak-kusuk dengan segala kekotoran
dan nikmat duniawi yang sesungguhnya bukan haknya. Ketika hatinya sudah
tak tahan lagi, dia kembali umroh ke Tanah Suci dan menggelar aneka
pengajian di rumah mewahnya. Itu terjadi berulang-ulang.
Kisah tentang Cakil adalah kisah
tentang para pejabat negeri ini. Bukan semuanya, namun kebanyakan ya
seperti itu. Demokrasi di Indonesia adalah ilusi. Yang berlaku di negeri
ini bukanlah demokrasi, melainkan Oligarki, dimana kelompok-kelompok
orang kaya bisa dengan semaunya mengatur dan memerintah negeri dengan
kekayaannya.
Dalam tulisan selanjutnya akan
dipaparkan kondisi negeri ini sekarang dalam perangkap demokrasi, serta
hari-hari ini dimana terjadi pengulangan sejarah tahun 1997-1998Penulis : pemilik situs pribadi .. edi nugroho.
16 Sya'ban 1435 H/ 14-06-2014 M
EDY NUGROHO
www.edinugroho.com
FOLLOW: @abu_yala96/@Edy_Nugroho006
www.abuyala96blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar