Al Imam Al Bukhari
berkata dalam Al-Adabul Mufrad (hal. 177):
Qurran bin Habib telah
mengabarkan kepada kami, dia berkata: Iyas bin Abi Tamimah telah mengabarkan
kepada kami, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah dari Abu Hurairah, dia berkata:
“Al-Humma (penyakit
demam) datang kepada Nabi, lalu dia berkata: ‘Kirimlah aku kepada pengikut
pilihanmu yang ada di sisimu.’ Beliau lalu mengirimnya kepada kaum Anshar, lalu
penyakit demam itu menetap di sisi mereka selama enam hari enam malam. Hal itu
sangat memberatkan mereka. Lalu beliau mendatangi mereka di rumah-rumah mereka.
Merekapun mengadukan hal itu kepada beliau. Maka nabi memasuki rumah satu
persatu. Beliau mendoakan kesehatan baginya. Tatkala beliau kembali, seorang
wanita dari mereka mengikuti beliau. Wanita itu berkata: ‘Demi Dzat yang
mengutus anda dengan haq, sesungguhnya saya dari Anshar, dan bapak saya juga
dari kaum Anshar. Maka berdoalah kepada Allah untuk saya sebagaimana Anda telah
mendoakan Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Terserah padamu. Jika kau mau, saya berdoa
kepada Allah agar menyembuhkanmu. Dan jika kamu mau, engkau bersabar dan akan
mendapatkan surga.’ Wanita itu berkata: ‘Bahkan saya akan bersabar dan tidak
menjadikan surga sebagai khayalan’.”
Hadits tersebut shahih
sebagaimana disebutkan di dalam Ash-Shahihul Musnad (2/396).
Sikap para sahabat
sangatlah mengagumkan. Mereka mampu menahan berbagai penyakit, rasa lapar,
halangan, rintangan, dan meninggalkan tanah air serta orang-orang yang
dicintai. Mereka menghadapi orang-orang kafir dengan pedang-pedang mereka, dan
hal-hal selain itu untuk mencari pahala dan surga.
Adapun kita, hanya
kepada Allah kita mengadu. Permasalahan bersiap-siap untuk akhirat dan
bersungguh-sungguh di dalamnya merupakan perkara yang sangat berat bagi
kebanyakan lelaki, terlebih lagi bagi para wanita, kecuali orang yang dirahmati
oleh Rabbku. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
Kesungguhan dalam
melakukan ketaatan mengantarkan ke jalan yang lurus yang tidak bengkok. Allah
berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا
فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (al-‘Ankabut: 69)
Allah juga memerintahkan
untuk bersungguh-sungguh. Dia berfirman:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ
حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kalian
di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj: 78)
Nabi bersabda
sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah:
“Bersungguh-sungguhlah
engkau dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan
kepada Allah, dan janganlah engkau lemah.”
Sabda beliau:
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagimu”,
maksudnya bermanfaat bagimu di dunia dan akhiratmu.
Sabda beliau: “Janganlah
engkau lemah”, merupakan larangan dari merasa lemah. Padahal perasaan lemah itu
lebih ringan daripada sikap malas, karena perasaan lemah itu terkadang timbul
karena sakit, atau ketuaan, atau sejenis itu. Berbeda dengan malas yang
merupakan sifat yang tercela secara mutlak.
Malas merupakan lawan
rajin. Nabi berlindung kepada Allah dari keduanya (merasa lemah dan malas).
Beliau berkata:
“Ya Allah, sesungguhnya
saya berlindung kepada-Mu dari perasaan lemah dan kemalasan…”
Hadits tersebut
muttafaqun ‘alaih dari Anas.
Ibnul Qayyim telah
menyebutkan di dalam Mirtah Daris Sa’adah (1/377) bahwa sikap lalai dan malas
merupakan pokok larangan.
Seorang penyair
mengatakan:
Aku tidaklah melihat aib
manusia sebagai sesuatu aib
Seperti kekurangan orang
yang mampu untuk menyempurnakan (tapi tidak dia lakukan)
Orang yang tertipu di
dunia adalah orang yang diberi rizki berupa kesehatan dan kelapangan waktu oleh
Allah, namun dia tidak menggunakannya untuk melakukan sesuatu yang berguna
baginya. Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata:
Rasulullah bersabda:
“Dua kenikmatan yang
kebanyakan manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan kelapangan waktu.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir
berkata tentang makna hadits ini ketika membahas firman Allah:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ
يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian pada hari itu
kalian pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kalian bermegah-megahkan di
dunia) itu.” (At-Takatsur: 8)
Maknanya: bahwa mereka
kurang mensyukuri dua kenikmatan ini dan tidak menegakkan kewajiban keduanya.
Dan barangsiapa yang tidak menegakkan hak yang menjadi kewajibannya, maka dia
termasuk orang-orang yang tertipu.
Nafsu itu pasti berada
pada salah satu dari dua hal:
1.
Disibukkan dengan
ketaatan kepada Allah.
2.
Atau menyibukkan si
empunya kepada selainnya. Karena, jika tidak disibukkan dengan ketaatan maka ia
sibuk dengan hal lain. Dan jika ada orang yang meluruskannya, maka ia lurus.
Seorang penyair berkata:
Sesungguhnya masa muda,
kelapangan waktu, dan kesungguhan dapat merusak seseorang dengan kerusakan
apapun.
Al-Imam Asy-Syafi’i
berkata: “Aku duduk bersama orang-orang sufi. Dan aku tidak dapat mengambil
faedah dari mereka sedikitpun, kecuali: “Waktu itu ibarat sebilah pedang. Jika
kau tidak memotongnya, maka ia yang akan memotongmu. Dan jika jiwa tidak
disibukkan dengan (kebenaran), maka ia akan disibukkan dengan hal-hal yang
batil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar