Ditulis Oleh Al Ustadz
Abu Utsman Kharisman
(Syarh Hadits ke-20
Arbain anNawawiyyah)
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ
عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ
مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.[رواه
البخاري ]
Dari Abu Mas’ud, ‘Uqbah
bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara ungkapan yang dikenal manusia dari ucapan
kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah semaumu.” [HR. al-Bukhari]
Sedikit Penjelasan
tentang Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
Abu Mas’ud ‘Uqbah bin
‘Amr al-Anshory al-Badri, disebut sebagai al-Badri karena beliau tinggal di
daerah Badr. Para Ulama’ berbeda pendapat apakah beliau ikut dalam perang Badr
atau tidak. Al-Imam alBukhari berpendapat bahwa beliau ikut dalam perang Badr,
namun kebanyakan Ulama’ lain tidak berpendapat demikian. Beliau ikut dalam
Baiatul ‘Aqobah, perang Uhud, dan perang-perang setelahnya. Meninggal setelah
tahun ke-40 Hijriah.
Definisi Malu
Istilah ‘malu’ secara
hakiki adalah: suatu akhlak (dalam jiwa) yang membangkitkan sikap menjauhi
hal-hal yang buruk dan mencegah dari perbuatan mengurangi hak pihak yang
memiliki hak (Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim (2/6)).
Dari definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa malu adalah:
1.
Akhlak/ perangai dalam
jiwa/ batin yang membangkitkan suatu sikap.
2.
Sikap yang dibangkitkan
adalah keengganan untuk :
1.
Melakukan hal-hal buruk,
termasuk yang menodai kehormatan dirinya
2.
Menyia-nyiakan hak Allah
atau hak hamba Allah.
Ini adalah definisi malu
secara syar’i. Atas definisi ini, malu seluruhnya adalah baik.
الْحَيَاءُ خَيْرٌ
كُلُّهُ
Malu adalah baik
seluruhnya (H.R Muslim no 54)
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي
إِلَّا بِخَيْرٍ
Malu tidaklah
mendatangkan kecuali kebaikan (H.R alBukhari no 5652 dan Muslim no 53)
Jika ada sikap
keengganan untuk melakukan hal-hal yang baik atau justru melalaikan kewajiban,
maka itu bukanlah malu secara istilah syar’i. Hal itu disebut malu karena kemiripan
keadaan dan perasaan, yaitu sama-sama enggan untuk melakukan sesuatu.
Keengganan yang bukan karena sifat malas, namun sungkan dan merasa tidak enak
dalam dirinya.
Orang yang enggan untuk
menjalankan kewajiban atau kebaikan semacam itu, bukanlah akhlak yang terpuji,
justru akhlak tercela, yang menunjukkan kelemahan, ketidakberanian dan
ketidakberdayaannya.
Contoh: sungkan untuk
beramar ma’ruf nahi munkar, sungkan untuk sholat berjamaah di masjid padahal
dia laki-laki, sungkan untuk menuntut ilmu agama, sungkan untuk menutup
auratnya, semua itu dengan alasan malu. Ini semua tidak pada tempatnya, dan
keliru dalam memahami makna ‘malu’ yang dianjurkan dalam hadits.
Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wasallam adalah orang yang paling pemalu, bahkan lebih pemalu
dibandingkan gadis dalam pingitan. Namun beliau adalah orang yang paling
pemberani.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا
Adalah Nabi shollallaahu
alaihi wasallam manusia yang lebih pemalu dibandingkan gadis dalam pingitannya
(H.R alBukhari no 3298 dan Muslim no 4284 dari Abu Said alKhudri)
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ النَّاسِ
وَكَانَ أَشْجَعَ النَّاسِ وَلَقَدْ فَزِعَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ ذَاتَ لَيْلَةٍ
فَانْطَلَقَ نَاسٌ قِبَلَ الصَّوْتِ فَتَلَقَّاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاجِعًا وَقَدْ سَبَقَهُمْ إِلَى الصَّوْتِ وَهُوَ
عَلَى فَرَسٍ لِأَبِي طَلْحَةَ عُرْيٍ فِي عُنُقِهِ السَّيْفُ وَهُوَ يَقُولُ لَمْ
تُرَاعُوا لَمْ تُرَاعُوا
Adalah Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam adalah manusia terbaik, manusia paling dermawan,manusia
paling pemberani. Pada suatu malam, penduduk Madinah merasa takut karena
terdengar suara. Manusia kemudian menuju arah suara. Mereka berpapasan dengan
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam yang baru kembali dari arah suara, dan
beliau telah mendahului mereka (paling awal) menuju ke arah suara. Beliau
menunggang kuda Abu Tholhah tanpa membawa lampu penerangan dan di leher beliau
tergantung pedang. Beliau bersabda: Jangan takut, jangan takut (H.R Muslim no
4266)
Nabi adalah manusia
paling pemberani dalam pertempuran, paling pemberani dalam menyampaikan al-haq.
Beliau adalah sangat pemalu, sangat menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal
tercela dan mendzholimi pihak lain.
Makna Hadits Secara Umum
Dalam hadits ini Nabi
menyatakan bahwa sesungguhnya salah satu di antara ajaran-ajaran yang diucapkan
para Nabi di masa-masa awal kenabian adalah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.
Hadits ini memiliki 2
makna yang saling berkaitan dan tidak bertentangan:
Pertama: Hadits tersebut bermakna ancaman, yaitu: Jika engkau tidak tahu malu, berbuatlah
sekehendakmu. Terserah engkau.
Hal tersebut adalah
ancaman, bukan anjuran. Ungkapan semacam ini sama dengan ungkapan yang disebut
dalam sebagian ayat:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ
…Berbuatlah sekehendak
kalian…(Q.S Fushshilat:40)
Ayat ini tidak bermakna
anjuran agar orang berbuat sekehendaknya tanpa memperhatikan aturan. Ayat
tersebut justru bermakna ancaman: Silakan berbuat sekehandakmu. Tapi ingat Allah Maha Melihat
perbuatanmu, dan akan membalas sesuai perbuatanmu. Jika baik, balasannya baik.
Jika buruk balasannya adzab.
Juga seperti dalam ayat:
وَمَنْ شَاءَ
فَلْيَكْفُرْ
Dan barangsiapa yang mau
(silakan) dia kufur (Q.S al-Kahfi:29)
Ayat tersebut bukan
bermakna anjuran kepada seseorang untuk berbuat kekufuran, namun justru ancaman.
Seakan-akan dinyatakan: Silakan seseorang berbuat kekufuran, akibatnya adalah
demikian dan demikian. Silakan tanggung sendiri akibatnya.
Makna yang kedua: Jika suatu perbuatan tidak mengandung hal-hal
yang memalukan, silakan kerjakan. Tidak mengandung hal yang memalukan artinya
tidak ada penyia-nyiaan terhadap hak Allah dan hak makhlukNya.
Selama suatu perbuatan
tidak mengandung hal itu, kerjakanlah, karena tidak ada masalah dalam hal itu.
Hal ini dikarenakan
sebagian manusia enggan mengerjakan kebaikan dengan alasan malu. Maka,
seharusnya ia singkirkan segala macam hambatan-hambatan yang menghalanginya
untuk berbuat kebaikan, selama dalam hal itu tidak ada penyianyiaan terhadap
hak Allah maupun hak hamba Allah. Selama tidak ada unsur maksiat kepada Allah
dan tidak ada pendzhaliman terhadap orang lain atau diri sendiri, kerjakanlah.
(Dua makna tersebut
tidak dianggap bertentangan oleh Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh)
Ajaran untuk Bersikap
Malu Diwariskan dari Para Nabi Terdahulu
Nabi menyatakan bahwa
ungkapan : Jika engkau tidak malu,
berbuatlah sekehendakmu, berasal dari
ucapan-ucapan para Nabi sejak di masa-masa awal kenabian (Nabi Adam). Hal itu
menunjukkan bahwa sikap malu adalah akhlak mulia yang terus diwariskan dari
Nabi awal ke Nabi berikutnya, hingga Nabi terakhir. Hal tersebut adalah ajaran
dari para Nabi kepada para pengikutnya.
Keutamaan-keutamaan
Sikap Malu
1.
Malu adalah tanda
keimanan, dan keimanan akan mengantarkan pada surga
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ
مِنْ الْإِيمَانِ
Dan sikap malu adalah
salah satu cabang dari keimanan (H.R al-Bukhari no 8 dan Muslim no 50)
الْحَيَاءُ مِنَ
الْإِيمَانِ وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ
وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ
Malu adalah bagian dari
iman, dan iman di surga. Sedangkan berkata kasar adalah termasuk perangai yang
kasar, dan perangai yang kasar (tempatnya) di neraka (H.R atTirmidzi, Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albany)
الْحَيَاءُ وَالإِيمَانُ
قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر
Sesungguhnya malu dan
iman adalah kedua hal yang beriringan. Jika diangkat salah satu, maka terangkat
yang lain (H.R al-Hakim,
dishahihkan oleh adz-Dzahaby)
1.
Sikap malu memperindah
keadaan
وَلَا كَانَ الْحَيَاءُ
فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا زَانَهُ
Dan tidaklah perasaan
malu ada pada sesuatu, kecuali akan memperindahnya (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah,
dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albany)
1.
Malu adalah termasuk
Sifat Allah dan sikap tersebut dicintai oleh Allah
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
Sesungguhnya Allah Azza
Wa Jalla adalah pemalu lagi tertutup. Ia mencintai sikap malu dan sesuatu yang
tertutup. Jika salah seorang dari kalian mandi hendaknya menggunakan penutup
(H.R Abu Dawud, anNasaai, dihasankan oleh as-Suyuthy dan dishahihkan al-Albany)
1.
Malu adalah akhlak Islam
إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ
خُلُقًا وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ
Sesungguhnya setiap
agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu (H.R Malik, Ibnu Majah,
dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Silsilah as-Shahihah)
(Faidah tentang keutamaan malu banyak diambil
dari Syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Sulaiman bin Muhammad alLuhaimid)
Malu Kepada Allah dengan
Sebenar-benarnya
Seseorang yang memiliki
perasaan malu terhadap Allah, akan menghasilkan perasaan muroqobah(senantiasa diawasi Allah), perbuatan ihsan, dan menjauhi
kemaksiatan.
Nabi shollallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk bersikap malu dengan
sebenarnya kepada Allah:
اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ
حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الْإِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ
حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى
وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ
الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Bersikap malulah kalian
kepada Allah. Para Sahabat menyatakan: Wahai Rasulullah, kami telah bersikap
malu kepada Allah, Alhamdulillah. Nabi bersabda: Bukan demikian. Tapi
sesungguhnya sikap malu dengan sebenar-benarnya kepada Allah adalah menjaga
kepala dan apa yang ada padanya, menjaga perut dan yang dikandungnya, dan
mengingat kematian dan akan datangnya kebinasaan, dan barangsiapa yang
menginginkan kehidupan akhirat dan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa
yang melakukan hal itu, maka ia telah bersikap malu dengan sebenar-benarnya
kepada Allah (H.R atTirmidizi, anNasaai, dishahihkan oleh al-Hakim dan
disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby).
‘Menjaga kepala dan yang ada padanya’ artinya: menjaga penglihatan (mata), ucapan
(lisan), dan pendengaran (telinga). Juga bermakna : menjauhi kesyirikan, yaitu
kepala tidak ditundukkan (sujud) kepada selain Allah.
‘Menjaga perut dan yang
dikandungnya’ artinya menjaga perut
dari makanan dan minuman yang haram, juga menjaga kemaluan dari hal-hal yang
diharamkan oleh Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar