Minggu, 26 Mei 2013

Ubudiyyah 
Antara Ketiban Ilmu dan Menuntut Ilmu


Semakin maju teknologi elektronik semakin beragam bentuk media yang hadir di depan kita. Jika zaman dahulu belajar dan berita ditularkan dengan amat lambatnya, sekarang semuanya serba cepat. Siapa lebih cepat, dialah yang dapat. Maka mengenallah kita berbagai acara langsung yang seolah tidak berjarak lagi antara watu kejadian nyata dan informasi yang kita terima.
Kemajuan ini sangat berpengaruh sekali pada berbagai lini kehidupan. Mulai dari sistem pembelajaran yang dikenal denga istilah e-learning, sisi administrasi ada e-KTP demikian juga dalam dunia dakwah.
Bagi sebagian orang yang percaya akan mitos teknologi dan obyektivitas media, menanggapi kemajuan ini dengan penuh keriangan karena hal tersebut meringankan kewajiban dalam mencari ilmu ‘thalabul ilmi’ sebagaimana seruan Rasulullah saw yang telah masyhur ‘uthlubul ilma wa lau bis-shin’ carilah ilmu sampai negeri cina.
Benarkah demikian? cukupkah criteria mencari ilmu itu hanya dengan duduk-duduk di depan televisi sambil minum teh dan menyimak para ustadz berceramah? Atau dengan memainkan mouse di depan computer secara oline dan menziarahi berbagai situs Islam? cukupkan semua itu?
Mengenai gambaran ini Muallim KH. Syafi’I Hadzami pernah mengatakannya sebagai ketiban ilmu bukan mencari ilmu (thalabul ilmi). Memang mendengarkan berbagai materi dakwah melalui media apapun merupakan amal baik dan insyaallah banyak memberi manfaat. Namun jika caranya seperti gambaran di atas tanpa ada usaha yang ‘merpotkan’ itu belum layak disebut mencari atau menuntut ilmu, mengaji,  juga bukan thalabul ilmi. Karena sesungguhnya thalabul ilmi itu mensyaratkan wujudnya seorang guru yang akan membimbing dan mengarahkan serta memberikan sui tauladan praktis (aplikatif) dalam dunia nyata. Atau dalam bahasa jawa yang bisa digugu dan ditiru (bisa didengarkan fatwa kebenarannya dan dicontoh tindak lakunya).
Oleh karena itu jika tidak dijumpai seorang guru, hendaklah ia mencarinya hingga ketemu walaupun dengan berjalan sejauh jarak negeri Arab hingga Cina. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Allah Musa as. ketika mengarungi lautan penuh kecapaian dan letih lesu dalam rangka mencari sang Guru Nabi Allah Khidir as.
أتنا غداءنا لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا
Berikanlah kepada kami makanan siang. Sesungguhnya kami telah menjumpai (merasa) letih dalam perjalanan ini.
Demikianlah, bagaimana kata thlabul ilmi identik dengan thalabul mursyid dan thalabus syaikh sebagai penunjuknya. Begitu pentingnya posisi seorang guru dalam pencarian petunjuk seperti yang diterangkan oleh Ibn Ruslan dalam Zubad­-nya.
 من لم يكن يعلم ذا فليسأل          *               من لم يجد معلما فليرحل
Barang siapa yang tidak mengetahui akan sesuatu masalah hendaklah ia bertanya. Barang siapa yang tidaj mendapatkan guru, hendaklah ia berlayar.
Kata berlayar dalam konteks syi’ir diatas adalah bepergian yang selayaknya menyertakan proses usaha keras, letih dan capek. Wallahu a’lam bis-showab.

Tidak ada komentar: